Dari Abi Mas'ud al-Badri radhiallâhu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: " Sesungguhnya diantara ucapan kenabian pertama (Adam) yang didapat oleh manusia (dari generasi ke generasi-red) adalah: 'jika engkau tidak merasa malu maka perbuatlah apa yang engkau inginkan' ". (H.R.Bukhari)
Catatan: Mushannif menyebutkan bahwa nash hadits seperti diatas adalah riwayat Bukhari, namun persisnya adalah sebagai berikut (tanpa kata al-Badri radhiallâhu 'anhu dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam seharusnya dalam nash di shahih Bukhari adalah an-Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ):
Takhrij hadits secara global
Hadits
diatas diriwayatkan oleh Imam Bukhari, ad-Daruquthni, Ahmad, Abu Daud, Ibnu
Majah, ath-Thabrani dan lain-lain.
Makna Hadits secara global
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan bahwa ucapan kenabian pertama (Adam
'alaihissalam) yang terus menerus didengar dari generasi ke generasi adalah
"bila engkau tidak merasa malu maka perbuatlah apa yang engkau
inginkan".
Penjelasan Tambahan
Sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam : "Sesungguhnya diantara ucapan kenabian
pertama (Adam 'alaihissalam ) yang didapat oleh manusia (dari generasi ke
generasi-red)" diatas mengisyaratkan bahwa ucapan ini ma'tsur (merupakan
atsar) dari para nabi terdahulu, diwarisi dan selalu diperbincangkan oleh
orang-orang dari abad ke abad. Ini artinya, bahwa kenabian terdahulu memang
telah mengenal ucapan ini dan masyhur di kalangan manusia hingga sampai kepada
orang pertama dari umat ini. Statement semacam ini didukung oleh sebagian
riwayat hadits, yang berbunyi: "manusia-manusia terdahulu tidak mengenal
ucapan kenabian pertama yang lain kecuali ucapan ini". (dikeluarkan oleh
Humaid bin Zanjawaih, dan selainnya).
Makna sabda beliau : "jika engkau tidak merasa malu maka
perbuatlah apa yang engkau inginkan" Mengenai maknanya terdapat dua pendapat:
Pertama: kalimat tersebut bukan mengandung pengertian boleh berbuat sesuka hati, akan tetapi bermakna adz-Dzamm (celaan) dan an-Nahyu (larangan). Dalam mengimplementasikan pengertian diatas, terdapat dua cara :
Cara pertama: bahwa amr (perintah) tersebut bermakna: at-Tahdid wal wa'iid (ultimatum dan ancaman keras). Jadi maksudnya: jika engkau tidak memiliki rasa malu maka lakukanlah apa yang engkau inginkan sebab sesungguhnya Allah akan mengganjar perbuatanmu tersebut, seperti dalam firman Allah: "Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.,s. 41/Fushshilat:40). Dan firmanNya: "'Maka sembahlah olehmu (hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia. (Q.,.39/az-Zumar:15). Dan seperti makna hadits yang hanya ditautsiq (didukung kualitas sanad dan matannya) oleh Ibnu Hibban: "Barangsiapa yang menjual khamar (arak) maka hendaklah dia memotong-motong babi (baik untuk dijual atau dimakan)". Maksudnya : barangsiapa yang menghalalkan penjualan khamar/arak maka hendaklah terlebih dulu menghalalkan penjualan babi sebab kedua-duanya sama-sama diharamkan. Jadi disini ada perintah namun pengertiannya adalah larangan. Dan banyak lagi contoh-contoh yang lain; pendapat semacam ini adalah pilihan sekelompok ulama, diantaranya: Abul 'Abbas, Tsa'lab.
Cara kedua: bahwa amr (perintah) tersebut bermakna: al-Khabar (pemberitaan). Jadi maksudnya: barangsiapa yang tidak memiliki rasa malu, dia akan melakukan apa saja yang dia inginkan. Sebab sesungguhnya yang mencegahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk adalah sifat malu; orang yang tidak memiliki sifat ini, maka dia akan tenggelam ke dalam setiap perbuatan keji dan munkar dan orang yang seperti ini hanya bisa tercegah dari melakukannya bila dia memiliki rasa malu. Sepadan dengan makna ini adalah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang shahih: "barang siapa yang berdusta kepadaku maka hendaklah dia menyediakan tempat duduknya di neraka". Lafazh hadits ini berupa amr (perintah) namun maknanya adalah al-Khabar (pemberitaan) yakni bahwa orang yang berdusta terhadap beliau maka dia sudah menyediakan tempat duduknya di neraka. Pendapat ini adalah pilihan Abu 'Ubaid, al-Qaasim bin Sallaam, Ibnu Qutaibah, Muhammad bin Nashr al-Marwazi, dan selain mereka. Abu Daud meriwayatkan dari Imam Ahmad yang mengindikasikan pendapat seperti ini juga.
Kedua: kalimat tersebut mengandung pengertian ; perintah untuk melakukan apa yang dia inginkan sesuai dengan makna lafazh tersebut secara zhahirnya. Jadi artinya: apabila apa yang ingin engkau lakukan termasuk perbuatan yang tidak perlu merasa malu untuk melakukannya baik dari Allah maupun manusia karena ia merupakan perbuatan keta'atan/kebajikan atau akhlaq yang baik dan etika yang dianggap baik; maka ketika itu perbuatlah apa yang ingin engkau lakukan. Pendapat ini dikemukakan oleh sekelompok ulama, diantaranya Abu Ishaq al-Marwazi asy-Syafi'i, dihikayatkan pendapat sepertinya dari Imam Ahmad, terdapat juga dalam sebagian manuskript ringkasan kitab "masaail Abi Daud", begitu juga seperti yang dihikayatkan oleh al-Khallal dalam kitabnya "al-Adab". Diantaranya perkataan sebagian Salaf ketika mereka ditanyai tentang definisi al-Muruuah : "bahwa engkau tidak melakukan sesuatu yang engkau malu melakukannya secara terang-terangan (sama malunya) di waktu engkau dalam kesendirian". Ungkapan ini sama dengan makna hadits "dosa adalah apa yang terbetik dalam hatimu sedangkan engkau takut orang lain mengetahuinya" (penjelasan tentang hadits ini telah kami tampilkan pada pembahasan yang lalu). Ada beberapa hadits yang senada dengan makna penjelasan diatas yang dipaparkan oleh Mushannif, diantaranya hadits dari Usamah bin Syuraik yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitabnya "Shahih Ibni Hibban": dari Usamah bin Syuraik, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "sesuatu yang Allah benci darimu (untuk dilakukan), maka janganlah engkau lakukan juga bila engkau sedang sendirian".
Klasifikasi sifat malu, kedudukan dan keutamaannya
Klasifikasinya dan kedudukannya
Sifat malu ada dua macam:
Pertama, sifat malu bawaan yang tidak didapat melalui
proses ; ini merupakan akhlaq yang paling mulia yang Allah karuniakan kepada
hambaNya, oleh karena itulah dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
dikatakan: "sifat malu tidak membawa selain kebaikan" sebab ia akan
mencegah orang yang memilikinya untuk melakukan perbuatan yang buruk-buruk dan
hina serta mendorongnya untuk menggunakan akhlaq yang mulia. Sifat ini
merupakan bagian dari iman bila implikasinya terhadap pemiliknya demikian.
Al-Jarrah bin 'Abdullah al-Hikami, salah seorang pahlawan penunggang kuda dari
Ahli Syam, berkata: "aku tinggalkan dosa-dosa karena malu, selama empat
puluh tahun; ternyata aku dapati kemudian sifat wara' ".
Kedua, sifat malu yang didapat melalui proses
ma'rifatullah (mengenal Allah), keagunganNya, kedekatanNya dengan
hamba-hambaNya, pengawasanNya terhadap perbuatan mereka serta ilmuNya terhadap
apa saja yang tersembunyi di hati manusia. Ini merupakan bagian keimanan yang
paling tinggi bahkan merupakan tingkatan ihsan paling tinggi, seperti dalam
sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam kepada seorang laki-laki: "berlaku
malu lah engkau kepada Allah sebagaimana engkau malu kepada salah seorang
keluargamu yang paling shalih".
Keutamaannya Diantara keutamaan sifat malu adalah:
·
Sifat
malu adalah sifat yang dicintai oleh Allah; sebagaimana dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad,
an-Nasai dari hadits al-Asyajj al-'Ashri, dia berkata: Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda kepadaku: "Sesungguhnya engkau memiliki dua
sifat yang dicintai oleh Allah". Aku bertanya kepada beliau: 'apa itu?'.
Beliau bersabda :"sifat lemah lembut (al-Hilm) dan sifat malu". Aku
bertanya lagi: 'sifat yang sudah lama (melekat padaku) atau yang baru?'. Beliau
menjawab dengan sabdanya: "bahkan yang sudah lama". Aku berkata (pada
diriku): 'alhamdulillah Yang telah menganugerahkan kepadaku dua sifat yang
dicintai oleh Allah'. Begitu juga dengan apa yang dikatakan oleh seorang
shahabat, Salman al-Farisi: "Sesungguhnya bila Allah menginginkan
kehancuran/kebinasaan bagi seorang hambaNya, maka Dia akan mencabut dari
dirinya sifat malu, dan bila sudah dicabut sifat tersebut dari dirinya maka dia
tidak akan menemuiNya kecuali dalam kondisi dia amat dimurkai dan murka, dan
bila dia sudah dalam kondisi demikian maka akan dicabut dari dirinya sifat
amanah lantas dia tidak akan menemuiNya kecuali dalam kondisi dia dicap sebagai
pengkhianat dan orang yang dikhianati, dan bila dia sudah menjadi pengkhianat
dan orang yang dikhianati maka akan dicabut dari dirinya sifat rahmah (sifat
belas kasih) lantas dia tidak akan menemuiNya kecuali dalam kondisi dia memiliki
sikap keras dan berhati kasar, dan apabila dia sudah dalam kondisi demikian
maka akan dicabut sebagian iman dari tengkuknya, dan bila sudah demikian maka
dia tidak akan menemuiNya kecuali dalam kondisinya yang telah menjadi syaithan
yang dilaknat dan suka melaknat".
·
Sifat
malu merupakan bagian dari iman;
sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Ibnu 'Umar radhiallâhu 'anhuma
bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lewat di depan seorang laki-laki
yang mencerca saudaranya yang memiliki sifat malu, dia (orang tersebut)
berkata: "sesungguhnya engkau ini amat pemalu", seakan dia mengatakan
(ungkapan ini berasal dari perawi hadits-red);"..ia (sifat malu tersebut)
telah membahayakan dirimu". Lantas kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "biarkanlah dia! Karena sesungguhnya sifat malu itu
adalah sebagian dari iman". (H.R.Bukhari, Muslim,…). Dan dalam hadits yang
lain dikatakan: "sifat malu adalah cabang dari iman". (H.R. Bukhari,
Muslim,…).
·
Sifat
malu hanya membawa kebaikan;
sebagaimana dalam hadits 'Imran bin Hushain dari Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam : "Sifat malu tidak membawa selain kebaikan". (H.R.Bukhari
dan Muslim).
Karakteristik sifat malu dan
implikasinya Karakteristiknya
Hal ini
seperti digambarkan dalam hadits Ibnu Mas'ud :" Malu kepada Allah adalah
bahwa engkau menjaga kepala dan apa yang disadari/ditangkapnya, (menjaga) perut
dan apa yang dikandungnya, mengingat mati dan musibah (yang akan menimpa);
barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaklah dia meninggalkan gemerlap
dunia. Maka siapa yang melakukan hal itu, berarti dia telah berlaku malu kepada
Allah". (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad, at-Turmuzi secara marfu').
Implikasinya
Sifat malu
kepada Allah melahirkan tindakan untuk selalu memonitor semua nikmatNya dan
melihat keterbatasan dan ketimpangan-ketimpangan dalam mensyukurinya. Bila
seorang hamba telah dicabut sifat malu dari dirinya baik sifat malu bawaan atau
pun yang didapat melalui proses maka dia tidak lagi memiliki filter untuk
melakukan perbuatan yang jelek-jelek dan akhlaq yang rendah dan hina; lantas
kemudian jadilah dia seakan-akan tidak memiliki iman sama sekali.
Seperti yang diungkapkan oleh 'Imran
bin Hushain radhiallâhu 'anhu bahwa sifat malu yang dipuji dalam sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam adalah akhlaq yang memberikan sugesti untuk
melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan yang jelek, sedangkan kelemahan
dan ketidakmampuan yang berimbas kepada keterbatasan dalam melakukan hak-hak
Allah dan hak hamba-hambaNya maka hal ini tidaklah dinamakan sifat malu
tersebut akan tetapi hal itu adalah kelemahan, ketidakmampuan, dan kehinaan
semata. Intisari Hadits
·
Diantara
ungkapan yang populer sejak kenabian pertama hingga dari abad ke abad adalah :
"jika engkau tidak merasa malu maka perbuatlah apa yang engkau
inginkan".
·
Sifat malu
ada dua macam: sifat bawaan dan sifat yang didapat setelah melalui proses.
·
Sifat malu
merupakan bagian atau cabang dari cabang-cabang iman.
·
Orang yang
tidak memiliki sifat malu sama sekali maka dia tidak akan memiliki filter diri
dan akan selalu melakukan prilaku yang jelek dan hina.
0 comments:
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda...