Wednesday, 30 November 2011

Kayu Bakar Api Neraka



(Kaum wanita adalah yang paling banyak, kenapa?)
Mukaddimah

Islam adalah agama yang universal dan sangat memperhatikan permasalahan yang berkaitan dengan wanita secara transparan dan proporsional. Ia menempatkan wanita dalam kedudukan yang layak dan bermartabat dimana sebelumnya di masa Jahiliyyah, dianggap sebagai "harta pusaka" yang diwariskan dan dipergilirkan; dia dapat diwariskan kepada anak. Disamping itu, dia juga dianggap sebagai noda yang dapat mencemarkan keluarga bila terlahirkan ke dunia sehingga harus dienyahkan dari muka bumi sebelum sempat menghirup udara kehidupan dengan cara menanamnya hidup-hidup.
Kedudukannya yang semacam inilah kemudian diangkat dan dihormati setinggi-tingginya oleh Islam, diantaranya; dia dijadikan orang yang paling pertama harus dipersembahkan bakti kepadanya ketika menjadi seorang ibu, adanya satu surat dalam al-Qur'an yang dinamakan dengan kaumnya (an-Nisa'), menjanjikan bagi orangtua yang berhasil mendidiknya sebagai jalan masuk surga, dan banyak lagi yang lain.
Namun begitu, Islam juga menyebutkan bahwa kaum wanita adalah orang-orang yang kurang akal dan diennya, banyak mengeluh/permintaan serta suka memungkiri kebaikan suami.
Berkaitan dengan yang terakhir ini, sudah bukan merupakan rahasia lagi bahwa di abad kontemporer ini banyak sekali isteri-isteri -yang barangkali karena memiliki jasa dan andil dalam pemenuhan anggaran belanja rumah tangganya- merasa diatas angin dan tidak sedikit yang semena-mena terhadap suami. Hal ini terjadi, lebih dikarenakan kurangnya pemahaman terhadap agama yang merupakan sesuatu yang esensial bagi seorang calon suami sebelum berubah menjadi suami melalui aqad yang sah. Sang suami hendaknya dalam memilih calon isteri lebih memprioritaskan sisi keshalihahannya.
Karena kurangnya pemahaman agama, sang isteri tidak mengetahui bahwa sebenarnya agama mewajibkannya untuk patuh dan taat kepada suami bahkan kerelaan suami terhadapnya ibarat prasyarat masuk ke surga –disamping syarat-syarat yang lain yang berkaitan dengan syarat diterimanya amal manusia secara umum- sebagaimana dalam makna hadits yang menyatakan bahwa siapa saja isteri yang meninggal dunia sementara suaminya rela terhadapnya maka dia akan masuk surga.
Dari kurangnya pemahaman agama tersebut kemudian berdampak kepada banyak kaum wanita yang bekerja di luar rumah dan berbaur dengan kaum lelaki dengan anggapan bahwa mereka memiliki hak yang sama dengan kaum pria dalam segala bidang tanpa terkecuali, sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh kaum feminis, termasuk dalam urusan rumah tangga. Lapangan kerja yang disesaki oleh tenaga wanita mengakibatkan meningkatnya angka pengangguran di kalangan kaum pria, terutama bagi mereka yang sudah berkeluarga namun tidak memiliki skil yang cukup untuk bekerja sehingga mendorong sang isteri untuk keluar rumah, terkadang menggantikan posisi suami dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Tentunya hal ini memiliki implikasi negatif, belum lagi dari sisi syar'inya, terhadap watak sang isteri. Dia seakan merasa telah berjasa dan memiliki andil dalam menghidupi keluarganya sedangkan sang suami hanya seorang penganggur. Atau dalam kondisi yang lain, dia memiliki pekerjaan dan gaji yang jauh lebih tinggi dari sang suami. Hal ini, kemudian dijadikan alasan yang kuat untuk memberontak, menyanggah, meremehkan bahkan memperbudak sang suami. Suami yang, misalnya, memiliki gaji kecil terkadang nafkah yang diberikannya kepada keluarga, disambut oleh isterinya dengan rasa ketidakpuasan dan kurang berterimakasih. Apalagi, bila kebetulan sang isteri juga bekerja dan gajinya lebih besar dibanding suami, tentu akan lebih parah lagi sikapnya terhadap suaminya yang seorang penganggur atau bergaji kecil. Dalam pada itu, hanya wanita-wanita shalihah yang memahami agama mereka dengan baik dan tahu bagaimana bersikap kepada suami-lah yang terselamatkan dari kondisi seperti itu.
Mengingat betapa urgennya pembahasan tentang hal ini dari sisi agama dan perlunya kaum wanita mengetahuinya, khususnya tentang ancaman terhadap wanita yang melakukan hal tersebut alias banyak mengeluh/permintaan dan suka memungkiri kebaikan suami, maka kami berupaya menuangkannya dalam bagian pembahasan hadits kali ini-disamping pembahasan tentang hal yang lain- dengan harapan, kiranya ada dari sekian banyak kaum wanita, yang menyempatkan diri membaca tulisan ini. Kami mengambil materi pembahasan hadits ini dari sebuah kajian hadits berbahasa Arab oleh seorang Syaik dan kami anggap laik untuk diturunkan.
Kami berharap bagi pembaca yang kebetulan menemukan kesalahan, khususnya dari sisi materi dan bahasa (terjemahan), agar sudi kiranya memberikan masukan yang positif kepada kami sehingga pada pembahasan hadits selanjutnya dapat dihindarkan. Wallaahu a'lam.
Naskah Hadits
Dari Jabir bin 'Abdullah –radhiallaahu 'anhuma- dia berkata: "Aku melaksanakan shalat pada hari 'Ied bersama Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam ; beliau memulai dengan shalat dulu sebelum khuthbah, tanpa azan dan iqamah, kemudian berdiri sambil merangkul Bilal. Beliau memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah, mengajak berbuat ta'at kepadaNya, mewasiati manusia dan mengingatkan mereka, kemudian beliau berlalu (setelah berbicara panjang lebar-red) hingga mendatangi (menyentuh permasalahan-red) kaum wanita lantas mewasiati dan mengingatkan mereka, sembari bersabda: ' bersedekahlah! Karena sesungguhnya kebanyakan kalian adalah (menjadi) kayu api neraka Jahannam'. Lalu seorang wanita yang duduk ditengah-tengah mereka berkata: kenapa demikian wahai Rasulullah?. Beliau menjawab: 'karena kalian banyak keluhkesah/permintaannya dan memungkiri (kebaikan yang diberikan oleh) suami'.
Jabir berkata: "lalu mereka bersedekah dengan perhiasan-perhiasan mereka dan melempar anting-anting dan cincin-cincin mereka kearah pakaian bilal". (H.R.Muttafaqun 'alaih).
Sekilas tentang periwayat hadits
Dia adalah seorang shahabat yang agung, Jabir bin 'Abdullah bin 'Amru bin Haram al-Anshary. Dia dan ayahnya mendampingi Rasulullah sebagai shahabat. Bersama ayahnya menyaksikan "Bai'atul 'Aqabah al-Akhirah". Ayahnya termasuk salah seorang "Nuqaba' " (pemimpin suku) yang ikut dalam bai'at tersebut. Dia ikut serta dalam banyak peperangan bersama Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Dia berkata:"Aku ikut serta berperang bersama Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sebanyak 19 kali peperangan". Dia adalah salah seorang dari "al-Muktsirûn li riwâyatil hadits" (kelompok shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits) dari Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Dia memiliki halaqah (kelompok pengajian) di al- Masjid an-Nabawy. Halaqah ini banyak dihadiri oleh orang-orang yang ingin menggali ilmu darinya. Dia juga termasuk orang yang dipanjangkan umurnya oleh Allah dan merupakan salah seorang shahabat yang paling belakangan meninggal di Madinah. Dia wafat disana pada tahun 78 H dalam usia 94 tahun.
Faedah-Faedah Hadits Dan Hukum-Hukum Terkait
A.    Hadits yang mulia diatas menjelaskan beberapa hukum yang terkait dengan shalat 'Ied, diantaranya:
o    Hadits tersebut menyatakan bahwa dalam shalat 'Ied tidak ada azan dan iqamah.
o    Khuthbah 'Ied hendaknya mencakup ajakan agar bertaqwa kepada Allah Ta'âla sebab ia merupakan kolektor semua kebaikan, demikian pula ajakan agar berbuat ta'at kepada-Nya dan saling mengingatkan dalam hal itu.
o    Khuthbah dilakukan setelah shalat 'Ied bukan sebelumnya sepertihalnya pada shalat Jum'at. Masing-masing dari keduanya memiliki dua khuthbah * akan tetapi pada shalat Jum'at dilakukan sebelum shalat sedangkan pada 'Ied dilakukan sesudah shalat. Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan para Khalifah-nya ar-Rasyidun. * terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah khuthbah shalat 'Ied; ada ulama yang mengatakan sekali saja dan ada yang mengatakan dua kali. Ibnu Qayyim al-Jauziah nampaknya menguatkan pendapat kedua, yakni dua kali.
o    Shalat dalam dua 'Ied hukumnya adalah fardhu kifayah; untuk itu seorang Muslim harus berupaya secara optimal dalam melakuksanakannya, menghadiri serta mendengarkan khuthbahnya agar mendapatkan pahala dan mendapatkan manfaat dari wejangan dan at-Tadzkir (peringatan) yang disampaikan oleh Imam/khathib.
B.     Islam sangat memperhatikan eksistensi kaum wanita dan menempatkan mereka kepada kedudukan yang agung dan tinggi; spesialisasi serta karakteristik mereka dalam beberapa hukum terlihat dalam hadits diatas, diantaranya:
o    Bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mengkhususkan bagian khuthbah tersendiri buat mereka dalam khuthbah 'Ied, setelah mewasiati dan mengingatkan kaum lelaki. Untuk itu, hendaknya seorang Imam/khathib pada 'Ied mengkhususkan khuthbahnya untuk mereka dan membicarakan problematika mereka. Khuthbah khusus ini diberikan bila mereka tidak mendengarkan khuthbah yang bersifat umum akan tetapi bila mereka mendengarkannya maka hendaknya dia menjadikan sebagian dari khuthbah tersebut, khusus berkaitan dengan perihal kaum wanita.
o    Bahwa seorang wanita diharamkan berbaur dengan kaum lelaki atau berjejal dengan mereka baik hal itu dilakukan di masjid-masjid ataupun di tempat lainnya. Akan tetapi semestinya, kaum wanita berada di tempat-tempat yang sudah dikhususkan untuk mereka. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari hal-hal yang menyebabkan timbulnya fitnah atau menjadi sarana dalam melakukan hal-hal yang diharamkan. Tidak berbaurnya wanita dengan kaum lelaki sudah merupakan kaidah umum yang wajib difahami oleh seorang wanita Muslimah dan wali-nya karena banyak sekali faedah-faedah yang didapat dari hal tersebut.
o    Mendapatkan 'ilmu merupakan hak semua orang; laki-laki dan wanita, untuk itu hendaknya seorang wanita berupaya secara optimal dalam menuntut ilmu yang dengannya dia memahami agamanya. Diantara sarana itu adalah: gairah serta semangatnya dalam mendengarkan wejangan-wejangan, juga, bertanya tentang hal-hal yang sulit baginya, sebagaimana tampak dalam hadits diatas.
o    Secara global kaum wanita memiliki sifat-sifat, diantaranya: banyak keluhan/permintaan dan memungkiri kebaikan suami alias terhadap nafkah yang telah diberikan olehnya. Sifat-sifat ini merupakan sifat yang tercela yang dapat menggiringnya ke neraka. Oleh karena itu, seorang wanita Muslimah harus menghindari hal itu dan berupaya keras untuk menjauhinya.
o    Ciri khas seorang wanita Muslimah adalah bersegera dalam berbuat kebajikan dan memenuhi panggilan iman. Hendaklah dia menambah aset kebajikannya sebanyak yang mampu dilakukan.
o    Kepemilikan terhadap harta merupakan hak laki-laki dan wanita, masing-masing memiliki harta secara sendiri-sendiri dan kewenangan dalam memberdayakannya; oleh karena itulah, isteri-isteri para shahabat bersegera dalam menginfaqkan harta-harta mereka tanpa meminta izin terlebih dahulu dari suami-suami mereka. Seorang wanita berhak memberdayakan hartanya dan menginfaqkannya meskipun tidak mendapat izin dari sang suami. Dalam hal ini, Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam telah menyetujui tindakan isteri-isteri para shahabat radhiallaahu 'anhunna.
C.    Khathib dan Penceramah memiliki tanggung jawab yang besar

Hal ini disebabkan mereka adalah bertindak sebagai orang yang menyampaikan permasalahan halal dan haram dari Allah Ta'ala. Dari sini, seorang khathib hendaknya melakukan tanggung jawab tersebut sebaik-baiknya; menceramahi manusia dengan apa yang mereka ketahui, mengajarkan mereka hal-hal yang bersifat agamis dan duniawi yang tidak mereka ketahui, mensugesti mereka untuk berbuat kebajikan, memperingatkan mereka dari berbuat kejahatan serta menjelaskan kepada mereka hal-hal yang dapat mendekatkan diri mereka kepada surga dan menyelamatkan mereka dari neraka. Demikian pula, hendaknya mereka menghindari berbicara tentang hal-hal yang tidak bersinggungan langsung dengan kepentingan umum kaum muslimin dan hal yang tidak bermanfaat bagi agama mereka.
D.    Sedekah memiliki faedah yang besar dan buah yang agung di dunia dan akhirat
Diantaranya; bahwa ia menjaga dari keterjerumusan kedalam api neraka, dan ini diperkuat oleh sabda beliau yang lain: "takutlah kepada api neraka meskipun (bersedekah) dengan sebelah dari buah tamar/kurma".
E.     Islam selalu berupaya agar seorang Muslim dalam berinteraksi dengan orang lain menggunakan manhaj yang transfaran dan proporsional meskipun terhadap orang yang paling dekat hubungannya dengannya
Dengan demikian, dia mesti meletakkan sesuatu sesuai dengan proporsinya; yang memiliki keutamaan ditempatkan sesuai dengan keutamaannya, yang memiliki hak diberikan haknya yang sepatutnya, tidak mengurangi hak manusia, menjauhi setiap hal yang dapat menyakiti mereka serta menghindari perkataan yang kotor dan mungkir terhadap jasa yang telah diberikan kepadanya.
F.      Seorang penuntut ilmu harus haus akan ilmu, banyak bertanya kepada gurunya tentang kesulitan yang dihadapinya
Namun, hendaknya pertanyaan yang disampaikan dilakukan dengan penuh kesopanan dan tatakrama agar dia mendapatkan jawaban sesuai dengan apa yang diinginkannya dari gurunya tersebut. (Rabu, 27-2-2002 M=15-12-1422 H)


Tuesday, 29 November 2011

Karakteristik Kaum Ghuraba


Dari Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: "Islam dimulai dalam kondisi asing, dan akan kembali sebagaimana ia dimulai (sebagai sesuatu yang) asing; maka berbahagialah bagi kaum ghuraba' (orang-orang yang asing tersebut)". [H.R.Muslim]
KAJIAN BAHASA
  1. Lafazh ghariiban ; yang merupakan derivasi (kata turunan) dari lafazh al-Ghurbah memiliki dua makna: pertama, makna yang bersifat fisik seperti seseorang hidup di negeri orang lain (bukan negeri sendiri) sebagai orang asing. Kedua, bersifat maknawi -makna inilah yang dimaksud disini- yaitu bahwa seseorang dalam keistiqamahannya, ibadahnya, berpegang teguh dengan agama dan menghindari fitnah-fitnah yang timbul adalah merupakan orang yang asing di tengah kaum yang tidak memiliki prinsip seperti demikian. Keterasingan ini bersifat relatif sebab terkadang seseorang merasa asing di suatu tempat namun tidak di tempat lainnya, atau pada masa tertentu merasa asing namun pada masa lainnya tidak demikian.
  2. Makna kalimat " bada-al Islamu ghariibaa [Islam dimulai dalam kondisi asing]" : ia dimulai dengan (terhimpunnya) orang per-orang (yang masuk Islam), kemudian menyebar dan menampakkan diri, kemudian akan mengalami surut dan berbagai ketidakberesan hingga tidak tersisa lagi selain orang per-orang (yang berpegang teguh kepadanya) sebagaimana kondisi ia dimulai.
  3. Makna kalimat " fa thuuba lil ghurabaa' [maka berbahagialah bagi kaum ghuraba' (orang-orang yang asing tersebut) ] " : Para ulama berbeda pendapat mengenai makna lafazh thuuba . Terdapat beberapa makna, diantaranya: fariha wa qurratu 'ain (berbahagia dan terasa sejuklah di pandang mata); ni'ma maa lahum (alangkah baiknya apa yang mereka dapatkan); ghibthatan lahum (kesukariaanlah bagi mereka); khairun lahum wa karaamah (kebaikan serta kemuliaanlah bagi mereka); al-Jannah (surga); syajaratun fil jannah (sebuah pohon di surga). Semua pendapat ini dimungkinkan maknanya dalam pengertian hadits diatas.
INTISARI DAN HUKUM-HUKUM TERKAIT
1.      Hadits tersebut menunjukkan betapa besar keutamaan para Shahabat radhiallaahu 'anhum yang telah masuk Islam pada permulaan diutusnya Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam karena karakteristik tentang ghuraba' tersebut sangat pas buat mereka. Keterasingan (ghurbah) yang mereka alami adalah bersifat maknawi dimana kondisi mereka menyelisihi kondisi yang sudah berlaku di tengah kaum mereka yang telah terwabahi oleh kesyirikan dan kesesatan.
2.      Berpegang teguh kepada Dienullah, beristiqamah dalam menjalankannya serta mengambil suri teladan Nabi kita, Muhammad Shallallâhu 'alaihi wasallam adalah merupakan sifat seorang Mukmin yang haq yang mengharapkan pahala sebagaimana yang diraih oleh kaum ghuraba' tersebut meskipun (dalam menggapai hal tersebut) kebanyakan orang yang menentangnya. Yang menjadi tolok ukur adalah berpegang teguh kepada al-Haq, bukan kondisi yang berlaku dan dilakukan oleh kebanyakan orang. Allah Ta'ala berfirman: "Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya..." (Q.S. 6:116).
3.      Besarnya pahala yang akan diraih oleh kaum ghuraba' serta tingginya kedudukan mereka. Yang dimaksud adalah kaum ghuraba' terhadap agamanya alias mereka menjadi asing lantaran berpegang teguh kepada al-Haq dan beristiqamah terhadapnya, bukan mereka yang jauh dari negeri asalnya dan menjadi asing disana.
4.      Dalam beberapa riwayat, dinyatakan bahwa makna al-Ghuraba' adalah orang yang baik/lurus manakala kondisi manusia sudah rusak. Juga terdapat makna; mereka adalah orang yang memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia. Ini menunjukkan bahwa kelurusan jiwa semata tidak cukup akan tetapi harus ada upaya yang dilakukan secara bijak, lemah lembut dan penuh kasih sayang dalam memperbaiki kondisi manusia yang sudah rusak agar label ghuraba' yang dipuji dalam hadits diatas dapat ditempelkan kepada seorang Mukmin. Sabtu,16/8/1422H = 1/12/2001 M


Monday, 28 November 2011

Jangan Bergaul Dengan Ahli Bid'ah


Allah berfirman :
Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa, maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). (QS. 6:68)

Maksud ayat di atas adalah larangan bagi setiap orang dari umat ini untuk duduk bersanding dengan orang-orang yang berdusta yang suka mengubah atau memutarbalikkan ayat-ayat Allah dan meletakkkannya tidak pada tempatnya. ( Tafsir Ibnu Katsir, Jld II ).
Kata " orang-orang yang zalim" juga mencakup musyrikin, muharrifin ( orang yang mengubah ayat Allah)' dan mubtadi'in ( ahli bid'ah ) dalam urusan Agama.
Ibnul Qayyim pernah berkata : Mempergauli mereka akan membawa kehancuran dalam segala hal. Mempergauli mereka sama halnya dengan makan racun. Kalau racun itu dapat segera dimuntahkan kemungkinan ia akan selamat, akan tetapi jika tidak, apalah jadinya.
Berapa banyak permisalan ini pada manusia. Mereka itulah ahli bid'ah dan kesesatan, mereka menyimpang dari sunnah Allah dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan menyeru untuk menyelisihinya. Mereka adalah orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah dan mencari jalan yang bengkok, lalu mereka menjadikan bid'ah sebagai sunnah, dan menjadikan sunnah sebagai bid'ah, menjadikan ma'ruf sebagai munkar dan menjadikan munkar sebagai ma'ruf.
1.      Jika engkau memurnikan tauhid maka mereka tentu berkata : engkau hendak mengurangi kedudukan para wali shalih !!!
2.      Jika engkau hanya ingin mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mereka berkata : engkau telah menyia-nyiakan para imam yang menjadi panutan !!!
3.      Jika engkau mensifati Allah sebagaimana Allah mensifati diri-Nya atau sebagaimana pensifatan yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tanpa mengurangi atau menambah, maka mereka tentu berkata : engkau ini termasuk ke dalam golongan musyabbihin ( orang-orang yang menyerupakan Allah dengan sesuatu )!!!
4.      Jika engkau memerintahkan saudaramu untuk berbuat ma'ruf sebagaimana yang diperintahkan Allah dan engakau melarangnya dari berbuat munkar sebagaimana Allah dan Rasul-Nya larang, tentu mereka berkata : engkau ini termasuk tukang fitnah !!!
5.      Jika engkau mengikuti sunnah dan meninggalkan segala yang menyelisihinya, tentu mereka berkata : engkau ini termasuk ahli bai'ah yang menyesatkan !!!
6.      Jika engkau hanya memasrahkan diri hanya kepada Allah dan engkau melepaskan diri dari mereka dan dari busuknya dunia, tentu mereka berkata : engkau ini termasuk orang-orang yang suka mencampuradukkan masalah !!!
7.      Jika kamu meninggalkan prinsip yang selama ini kamu pegang dan beralih mengikuti hawa nafsu mereka, maka di sisi Allah engkau termasuk orang-orang yang merugi dan di sisi mereka engkau termasuk orang-orang yang munafiq.
Satu hal perlu dipegang erat adalah kita harus mencari keridlaan Allah dan Rasul-Nya serta kita tidak perduli bila mereka geram kepada kita. Jangan sampai kita disibukkan oleh cercaan mereka atau tawaran mereka agar kita mendapat ridla darinya. Jangan pula dirisaukan oleh caci-maki mereka serta kemarahannya, karena hal itu membuktikan kesempurnaan pendirian kita.
Orang-orang macam mereka itu harus didakwahi dan diseru kepada kebenaran dengan jalan yang terbaik untik menegakkan hujjah atas mereka sebagai manifestasi dari perintah Allah dalam salah satu firman-Nya yang dikhitabkan (diperintahkan) kepada Rasul-Nya yang mulia:
dan bantahlah mereka dengan jalan yang terbaik. ( An-Nahl : 125 ).
Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. (QS. 16:127)
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS. 16:128)

( dari buku : kaifa nafhamu al-Qur'an Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, edisi Indonesia hal : 141 )


Sunday, 27 November 2011

Standar Kompetensi PTK-PNF dan Sistem Penilaian


A.  Latar Belakang

Pendidikan formal maupun nonformal merupakan lembaga vital yang berperan utama sebagai kunci untuk mempersiapkan kebutuhan masa depan bangsa berdasarkan aspek intelektual, dan memadukan aspek keterampilan dengan kepribadian. Dalam rangka pendidikan itu, pendidik dan tenaga kependidikan merupakan sosok utama yang mengemban tugas mempersiapkan masa depan anak bangsa. Pendidikan masa depan tidak hanya dirancang untuk memenuhi kebutuhan pengembangan ekonomi, tetapi juga mempersiapkan kebutuhan pasar kerja dalam membangun masyarakatnya.
Sektor pendidikan saat ini telah berada pada era globalisasi yang sesungguhnya, dimana informasi dan komunikasi yang berkembang pesat seirama dengan kemajuan teknologi yang mengakibatkan persaingan ketat. Proses belajar mengajar bukan hanya mengarah pada hasil hafalan belaka, melainkan bagaimana melatih peserta didik untuk berpikir, bertindak dan mengahayati (learning to think, learning to do, leraning to be). Guna mewujudkan hal tersebut maka pendidikan di Indonesia sangat membutuhkan dukungan tenaga pendidik dan kependidikan yang memadai, berkualitas dan profesional serta mampu bersaing baik di forum regional, nasional maupun internasional.
Pengembangan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal (PTK-PNF)  harus segera dilakukan. Agar tolok ukur mutu akademik dan keterampilan yang merupakan output pendidikan nonformal seperti yang diharapkan, serta  capaian layanan pendidikan nonformal sebanding dengan jumlah kelompok sasaran yang harus dilayani diperlukan adanya kompetensi minimal bagi PTK-PNF yang dirumuskan secara baku. 
Kompetensi yang harus dikuasi oleh PTK-PNF perlu dinyatakan sedemikan rupa agar dapat dinilai secara obyektif berdasarkan kinerja PTK-PNF, dengan bukti penguasaan mereka pada aspek pedagogi dan andragogi, kepribadian dan sosial serta profesional. Dalam menetapkan kriteria penilaian pertama perlu adanya penetapan parameter untuk mengukur kompetensi yang dimiliki, kedua perlu ditetapkan poin pada setiap parameter yang merupakan standar yang dapat diterima. Standarisasi kompetensi dirancang sebagai suatu standar yang bersifat nasional yang mengarah pada peningkatan kualitas PTK-PNF dan pola pembinaan PTK-PNF yang terstruktur dan sistematis untuk digunakan sebagai acuan pengembangan sistem uji kompetensi, dimana kebijakan umum dan teknis penyelenggaraan mengacu pada suatu prosedur baku.  
Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan  No. 19 tahun 2005, menuntut adanya standar kompetensi dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan baik formal mapun nonformal. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa untuk pendidikan nonformal belum memiliki standar nasional yang baku khususnya tentang kompetensi PTK-PNF. Beberapa permasalahan yang terkait dengan belum adanya standar kompetensi  yang dirasakan saat ini adalah: 1) tidak adanya keseragaman tingkat kemampuan dan kualitas PTK-PNF, 2) tidak dapat membuat suatu alat ukur yang akurat untuk mengetahui kompetensi PTK-PNF, 3) pengembangan kemampuan dan pembinaan yang dilakukan bagi PTK-PNF tidak berdasarkan pada apa yang perlu ditingkatkan, 4) masih rendahnya tingkat kesejahteraan dari para PTK-PNF. 
  Seiring dengan terbentuknya Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Non Formal (Dit. PTK-PNF) Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK), yang secara khusus menangani masalah PTK-PNF, kelak diharapkan kesejahteraan dan kualitas PTK-PNF dapat meningkat serta lebih terjamin. Sebagai tindak lanjut dari apa yang telah diuraikan di atas, maka pada tahun anggaran 2006 Dit. PTK-PNF berupaya membuat suatu program rintisan sertifikasi bagi PTK-PNF dalam rangka mempersiapkan PTK-PNF yang kompeten dan profesional didalam memberikan layanan program-program PNF secara berkualitas dan akuntabel.

B.  Tujuan dan Manfaat Standar Kompetensi PTK-PNF

1. Tujuan
a)    Menetapkan kompetensi/kemampuan dasar pendidik dan tenaga kependidikan PNF yang berstandar nasional sesuai PP 19 tahun 2005.
b)    Menetapkan kompetensi dasar yang harus dimiliki pendidik dan tenaga kependidikan PNF yang profesional dibidangnya.
c)    Menetapkan kompetensi dasar  pendidik dan tenaga kependidikan PNF dalam menghasilkan standar proses dan standar lulusan (output).
d)    Menjadikan standar kompetensi sebagai acuan dalam sistem perekrutan, penempatan, peningkatan mutu dan penetapan pendidik dan tenaga kependidikan PNF.

2. Manfaat

Secara umum manfaat kompetensi antara lain:
a)    Sebagai alat penentu kinerja tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
b)    Sebagai standar mutu penyelenggaraan pendidikan atau pelatihan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal
c)    Sebagai acuan penyelenggaraan pendidikan atau pelatihan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal
d)    Agar tidak terjadi penyimpangan dan kesalahan dalam manafsirkan dan mengimplementasikan kurikulum pelatihan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal
e)    Sebagai acuan bagi pihak-pihak terkait untuk melakukan evaluasi dan pengembangan bahan ajar bagi diklat PTK-PNF
f)     Sebagai acuan pelaksanaan uji kompetensi

C.  Ruang Lingkup

Yang termasuk dalam rumusan penataan kompetensi dasar pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan non formal adalah:
1.    Tenaga Kependidikan
a.    Penilik
b.    Pengelola program pada satuan pendidikan nonfomal
2.    Pendidik PNF
a.    Pamong Belajar
b.    Pendidik PAUD
c.    Tutor Pendidikan Kesetaraan Paket A
d.    Tutor Pendidikan Kesetaraan Paket B
e.    Tutor Pendidikan Kesetaraan Paket C
f.     Tutor Keaksaraan
g.    Instruktur kursus

Dengan adanya berbagai keterbatasan tenaga, kemampuan, waktu  dan dana maka pada tahap rintisan tahun 2005 ini penataan kompetensi dasar pendidik dan tenaga kependidikan nonformal dibatasi pada 3 (tiga) jenis ketenagaan yakni: penilik, pendidik PAUD dan tutor pendidikan kesetaraan. Harapannya masa yang akan datang ada satu tindak lanjut untuk mengembangkan standar kompetensi bagi PTK PNF lainnya.