عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كاَنَ
قَبْلَكُمْ شِبْراً بِشِبْرٍ وذِرَاعاً بِذِرَاعٍ, حَتَّى لَوْ سَلَكُوْا جُحْرَ
ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ. قُلْنَا: يَارَسُوْلَ اللهِ, الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى ؟
قَالَ: فَمَنْ» ؟ . رواه البخاري
Dari Abu Sa’id (al-Khudry) bahwasanya Nabi shallallâhu
'alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh kalian akan mengikuti sunnah (cara/metode)
orang-orang sebelum kamu, sejengkal-demi sejengkal, sehasta demi sehasta,
hingga andaikata mereka menelusuri lubang masuk ‘Dlobb’ (binatang khusus padang
sahara, sejenis biawak-red), niscaya kalian akan menelusurinya pula”.
Kami (para shahabat)
berkata: “Wahai Rasulullah! (mereka itu) orang-orang Yahudi dan Nashrani?”.
Beliau bersabda: “Siapa lagi (kalau bukan mereka-red)”. {H.R.al-Bukhary)
TAKHRIJ HADITS SECARA GLOBAL
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah.
Dalam riwayat yang lain disebutkan: “…hingga andaikata mereka memasuki
lubang masuk dlobb niscaya kalian akan memasukinya pula”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam
al-Hakim dari Ibnu ‘Umar terdapat gambaran yang lebih jelas. Dari Ibnu ‘Umar radliallâhu
'anhuma, Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh
Ummatku akan melakukan apa yang dilakukan oleh Bani Israil, sama persis
layaknya sepasang sandal dengan pasangan yang lainnya, hingga andaikata pada
mereka ada orang yang mengawini ibunya secara terang-terangan, maka di kalangan
ummatku akan ada yang sepertinya”.
PENJELASAN HADITS
Makna hadits diatas adalah
bahwa Rasulullah telah mensyinyalir melalui nubu-at (tanda-tanda
kenabian)-nya, bahwa kelak di akhir zaman, ada diantara umatnya yang mengikuti
gaya hidup orang-orang sebelum mereka, yaitu orang-orang Yahudi dan Nashrani.
Beliau menegaskan bahwa di dalam mengikuti dan meniru-niru gaya hidup mereka
tersebut, umatnya melakukannya secara bertahap dari mulai sejengkal, sehasta
dan seterusnya (sebagaimana terdapat di dalam tambahan riwayat yang lain).
Ketika Rasulullah menyinggung tentang orang-orang sebelum mereka, para shahabat
seakan tahu siapa mereka itu, yaitu orang-orang Yahudi dan Nashrani, tetapi
masih ragu dan ingin mendapatkan penegasan dari Rasullah.
Namun Rasulullah menjawabnya dengan gaya bahasa bertanya pula sebagai
penegasannya: “Kalau bukan mereka, siapa lagi?”.
Hadits tersebut dimulai dengan tiga kata penegas; yaitu al-Qasam al-Muqaddar
(Bentuk sumpah yang abstrak), al-Lâm serta an-Nûn. Semuanya
di dalam tata bahasa Arab adalah merupakan bentuk penegasan dimana seharusnya
kalimat aslinya berbunyi ‘Demi Allah, Sungguh kamu akan mengikuti…’.
Syaikh al-‘Utsaimin –rahimahullah- menyatakan bahwa kalimat ‘Latattabi’unna’
diarahkan kepada orang banyak (jama’) bukan kepada orang per-orang
(mufrad). Ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan di dalam hadits ini bukan
makna zhahirnya bahwa semua umat ini akan mengikuti cara/metode orang-orang
sebelum mereka tetapi maksudnya disini adalah bersifat ‘âmm khâsh’ (umum
tetapi khusus) sebab ada diantara umat ini yang tidak mengikuti hal tersebut.
Tetapi bisa jadi juga, maknanya tetap umum (general) tetapi meskipun demikian,
tidak mesti bahwa umat ini mengikuti sunnah umat terdahulu dalam segala halnya.
Bisa jadi, ada sebagian yang mengikuti sisi yang satu ini dan sebagian yang
lain mengikuti sisi yang lainnya. Maka dengan demikian, hadits ini tidak dapat
diartikan bahwa umat ini telah keluar dari dien al-Islam. Makna ini adalah
lebih pas sehingga hadits tersebut tetap di dalam keumuman maknanya. Tentunya
yang harus kita ketahui bahwa ada diantara cara-cara hidup (sunnah/metode)
orang-orang terdahulu yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari dien ini
seperti memakan riba, dengki, prostitusi dan dusta. Sebagian lagi ada yang
mengeluarkan pelakunya dari dien ini seperti menyembah berhala.
Hadits tersebut dimaksudkan untuk mengingatkan umat ini akan perihal tersebut
sehingga mereka berhati-hati. Jadi, maknanya bukan menetapkan (iqrar) bahwa hal
itu disetujui akan terjadinya sehingga membuat orang yang lemah imannya
beralasan dengan hadits ini ketika akan melakukan perbuatan maksiat bahwa apa
yang dilakukannya semata karena telah ditetapkan oleh Rasulullah sendiri.
Sungguh ini merupakan ucapan dusta yang nyata terhadap beliau shallallâhu
'alaihi wa sallam.
Semua perbuatan maksiat yang terjadi saat ini mesti ada asal-usulnya pada
umat-umat terdahulu akan tetapi orang yang diberi taufiq oleh Allah untuk
mendapatkan hidayah, maka dia akan mendapatkan hidayah tersebut. Artinya, ada
semacam kesimpulan bahwa perbuatan maksiat yang terjadi pada umat ini memiliki
akar dan asal-usul pada umat-umat masa lampau. Demikian pula, bahwa tidaklah
ada perbuatan yang dilakukan oleh umat-umat masa lampau melainkan akan ada
pewarisnya pada umat ini.
Imam
an-Nawawy menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ungkapan “Syibr (sejengkal)”
“ Dzirâ’ (sehasta)” “ Juhr adl-Dlobb (lubang masuk/rumah
Dlobb) “ adalah sebagai perumpamaan betapa mirip dan hampir samanya apa
yang kelak dilakukan oleh umat ini dengan apa yang telah dilakukan oleh
orang-orang Yahudi dan Nashrani. Hal ini bukan di dalam melakukan kekufuran
tetapi di dalam perbuatan maksiat dan pelanggaran-pelanggaran agama.
Dalam
hadits yang lain disebutkan bahwa cara mengikuti itu ibarat bulu pada panah
yang harus datar sehingga arah panahnya tidak nyasar. Demikian pulalah, kelak
umat ini akan mengikuti sunnah umat-umat terdahulu seperti itu.
Ucapan
Rasulullah ‘lubang masuk/rumah dlobb’ karena lubang dlobb merupakan
lubang binatang yang paling kecil dan perumpamaan ini hanya dimaksudkan sebagai
al-Mubâlaghah (berlebih-lebihan). Artinya, bahwa umat ini benar-benar
akan mengikuti mereka hingga bila diajak masuk ke lubang yang paling kecil
sekalipun.Tentunya, bila diajak untuk memasuki lubang/rumah singa yang lebih
besar, lebih pasti lagi mereka akan mengikutinya.
Imam an-Nawawy –rahimahullah- menegaskan: “Ini merupakan mu’jizat yang
nyata sekali dari Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam dan apa yang
beliau beritakan telah benar-benar terjadi”.
Antara Nubu-at Rasulullah dan Fenomena Perayaan Tahun Baru
Bila kita mengamati secara seksama realitas yang ada menjelang berakhirnya
setiap tahun Masehi, maka akan kita dapatkan seakan Rasulullah shallallâhu
'alaihi wa sallam berbicara tentang kondisi kontemporer saat ini.
Betapa tidak, hampir mayoritas umat ini merayakan datangnya Tahun Baru Masehi
tersebut persis dengan apa yang dilakukan oleh pemilik Hari Besar tersebut,
yaitu kaum Yahudi. Anehnya, di negeri ini dirayakan pula oleh kalangan
Nashrani.
Perayaan yang berisi hura-hura, kemaksiatan dan pemubaziran dilakukan di hampir
seluruh pelosok negeri, tidak oleh kalangan muda-mudi saja tetapi juga oleh
orang-orang tua. Pada tengah malam menjelang pergantian tahun, mereka berpesta
pora dan lelap dalam gegap-gempita serta suara hiruk-pikuk musik yang menggila.
Beramai-ramai dalam suasana sesak, saling himpit dan bergaya dengan berbagai
mode yang ada. Entah apa yang terjadi manakala ada sekumpulan muda-mudi dalam
suasana mabok seperti itu dan di tengah malam dengan saling bergandengan dan
seterusnya. Perbuatan maksiat dimana-mana dan secara terang-terangan sudah
semakin berani dipertontonkan. Belum lagi ada acara mubazir yang tak kalah
riuhnya dan merupakan fenomena yang diciptakan dan dimanfa’atkan oleh para
pedagang ayam. Di sepanjang jalan menjelang malam itu, para pedagang ayam ini
berjejer menjajakan ayam mereka sembari meneriakkan yel-yel tahun baru. Ayam
yang dibeli tersebut kemudian dibakar hampir di seluruh perkampungan dan gang.
Maka, asappun mengepul kemana-mana dan dari mana-mana. Anehnya, mereka seakan
tidak peduli dengan suasana keprihatinan dan ekonomi yang lagi morat-marit.
Mereka membeli dan membakar ayam dalam jumlah yang sangat besar sehingga banyak
sekali ayam yang tersisa pada pagi harinya karena tidak ada lagi yang kuat
memakannya selain binatang.
Bila melihat kepada namanya, sepertinya memperingati dan merayakan Tahun Baru
Masehi identik dengan tahunnya orang-orang Nashrani saja. Tetapi sebenarnya,
perayaan Tahun Baru tersebut merupakan bagian dari aktifitas rituil agama
Yahudi dan Majusi (yang disebut dengan ‘an-Nayrûz’). Oleh karena itu,
merekalah yang sebenarnya memiliki misi merayakan dan memeriahkannya bukan kaum
Muslimin.
Sedangkan di dalam Islam, hanya dikenal tiga Hari Besar (‘Ied) yang memang
disyari’atkan untuk dirayakan dan dimeriahkan; dua bersifat tahunan, yaitu
‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adlha serta satu lagi, bersifat pekanan, yaitu Hari
Jum’at. Selain tiga Hari Besar ini, tidak dikenal peringatan dan perayaan hari
besar lainnya, apalagi bila perayaan itu identik dengan agama selain Islam,
seperti agama Nashrani, Yahudi atau Majusi.
Nah,
yang menjadi masalah kemudian adalah keterlibatan sebagian besar dari umat
mayoritas yang beragama Islam di dalamnya; Kenapa mereka ikut merayakan dan
memeriahkannya juga? Tidak tahukah mereka bahwa perayaan itu khusus untuk non
Muslim, khususnya, kaum Yahudi dan Majusi? Tahukah mereka bahwa hal ini
bertentangan dengan ajaran agama? Bagaimana pengawasan dan kontrol ulama
terhadap gejala-gejala seperti ini yang dapat merusak ‘aqidah umat?.
Tentu kita amat prihatin dengan nasib umat yang semakin lama semakin terkikis
‘aqidahnya, sedikit-demi sedikit sebagaimana yang disinyalir di dalam hadits
Nabi tersebut.
Setidaknya –menurut hemat penulis-, ada dua faktor besar yang menyebabkan
terjadinya hal tersebut:
Pertama, Kejahilan
sebagian besar umat ini akan ajaran agama yang shahih. Kedua, Kurangnya kontrol
para ulama, khususnya penekanan terhadap sisi ‘aqidah.
Mengenai faktor pertama ini, ia amat identik dengan pepatah yang mengatakan:
“Manusia itu adalah musuh bagi apa yang tidak diketahuinya”. Dalam hal ini,
bukan berarti umat selama ini tidak mengalami proses pembelajaran. Proses itu
ada tetapi kurang terkoordinir dengan baik dan terfokus sehingga hasil yang
didapatpun mengambang.
Proses pembelajaran sebagian besar umat selama ini hanya bertumpu kepada
acara-acara ceremonial. Rujukan-rujukan yang digunakan dari sisi materi kurang
memberikan tekanan kepada pemurnian ‘aqidah dari syirik dan penyakit TBC
(Takhayyul, Bid’ah, Syirik dan Churafat) sementara dari sisi otentititas
dan validitasnya kurang dapat dipertanggungjawabkan pula karena banyak sekali
hadits-hadits yang dijadikan sebagai hujjah sangat lemah kualitasnya bahkan
maudlu’/palsu.
Umat yang awam hanya mengerti bahwa acara-acara ceremonial semacam itu adalah
bagian dari agama yang mereka anggap ‘wajib’ dilakoni dari masa ke masa dan
secara turun-temurun. Bilamana ada salah seorang diantara mereka yang dianggap
sebagai tokoh agama di suatu tempat sudah meninggal dunia, maka secara perlahan
frekuensi acara tersebut dengan sendirinya akan menurun drastis. Mereka tidak
mengerti apakah hal itu benar-benar dicontohkan oleh Rasulullah melalui
dalil-dalilnya yang kuat dan shahih atau tidak. Apalagi bila ditanyakan kepada
mereka tentang rujukannya, logika berfikir yang mereka fahami hanyalah bahwa
hal itu ‘memang dari dulunya demikian’. Mereka hanya terbiasa dengan ‘taqlid
buta’. Memang secara agama, bahwa apa yang dapat dilakukan oleh orang awam
adalah taqlid kepada para ulamanya.
Selain acara-acara ceremonial tersebut, memang banyak sekali diadakan
majlis-majlis ta’lim tetapi amat disayangkan bahwa bobot materinya kurang
berimbang. Sangat sedikit –untuk tidak mengatakan hampir tidak pernah- di
dalamnya menyentuh sisi ‘aqidah dan bagaimana mereka bisa terlepas dari
kesyirikan dan penyakit TBC tersebut. Yang sering disuguhkan kepada mereka
hanyalah masalah ‘Fadlâ-il A’mâl’ (amalan-amalan ekstra) seperti pahala
ibadah yang ini sekian dan yang itu sekian namun banyak sekali pula
hadits-hadits yang digunakan sebagai hujjah untuk itu, kualitasnya dla’if
(lemah) sekali bahkan maudlu’/palsu. Sebagai contoh adalah shalat ar-Raghâ-ib
dimana sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam an-Nawawy bahwa hadits tentang
ibadah ini sama sekali tidak ada landasannya yang shahih.
Maka, kejahilan di tubuh umat ini akan semakin parah bila faktor kedua juga
tidak terbenahi.
Para ulama adalah pewaris para Nabi dan menjadi tumpuan berpijak umat di dalam
mengarungi kehidupan keagamaan mereka. Ketika berbicara, maka seharusnya mereka
menyadari bahwa posisi mereka adalah sebagai orang yang dimandati untuk
mengatasnamakan agama dengan menggunakan firman-firman Allah dan hadits-hadits
Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Dengan posisi seperti ini, sudah sepatutnya bahkan wajib bagi mereka untuk
memberikan pelajaran-pelajaran agama yang benar kepada umat sebab umat yang
awam hanya bertaqlid kepada mereka. Mereka harus mengambil dalil-dalilnya dari
rujukan yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid sebab kelak mereka akan
mempertanggungjawabkan hal ini di hadapan Allah Ta’ala.
Sudah sepantasnya, para ulama meneladani sikap para Imam empat Madzhab yang
semuanya sepakat menyatakan keharusan untuk merujuk kepada hadits yang shahih.
Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi’i mengatakan: “Bila hadits itu shahih, maka
itulah madzhabku”. Imam Ahmad berkata: “Janganlah kalian mentaqlidiku, jangan
pula mentaqlidi Malik, asy-Syafi’i, al-Awza’i dan ats-Tsawry tetapi ambillah
darimana mereka mengambil”. Imam Malik berkata: “Tidak ada seorangpun setelah
(wafatnya) Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam kecuali pendapatnya
diambil atau ditinggalkan kecuali Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam”.
Para Imam ini melarang umat dan pengikutnya mentaqlid mereka secara buta bahkan
salah seorang dari mereka, yakni Abu Hanifah amat keras sekali ucapannya:
“Haram bagi siapa yang tidak mengetahui dalilku untuk berfatwa dengan
ucapanku”.
Ungkapan para Imam empat madzhab tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa
bilamana suatu ketika kita menemukan hadits yang shahih dan hadits yang mereka
jadikan hujjah adalah dla’if atau ada hadits yang lebih shahih dan kuat dari
hadits yang mereka jadikan hujjah, maka mereka akan menjadikan hadits yang
shahih atau lebih shahih dan kuat tersebut sebagai pendapat mereka. Ini juga
menandakan bahwa mereka adalah orang yang berlapang dada di dalam menerima al-Haq
dan sama sekali tidak menganggap pendapat mereka lebih benar dari yang lain
sebab tolok ukurnya adalah kekuatan hujjah dan keshahihannya.
Perlu kita renungi pula bahwa ketika para imam tersebut mengatakan demikian,
mereka menyadari betul bahwa ada hadits yang belum sampai kepada mereka baik
secara langsung maupun tidak langsung sehingga hadits yang mereka jadikan
hujjah adalah hadits yang mereka anggap paling shahih yang sampai kepada
mereka. Maka, agar umat dan pengikutnya jangan terperdaya dan terkungkung di
dalam taqlid buta, mereka mengatakan seperti ungkapan-ungkapan tersebut
sehingga mereka berlepas diri dari kesalahan yang kelak terjadi akibat hujjah
mereka yang dipandang lemah atau kurang shahih dan kuat.
Disini, perlu ditekankan bahwa bilamana para ulama mengambil sikap seperti para
Imam empat madzhab tersebut, tentulah kondisi umat dari sisi pembelajaran
tersebut akan mencapai arah yang benar. Umat akan tenang dan yakin di dalam
menjalankan ibadah mereka karena para ulama mereka interes terhadap dalil-dalil
yang shahih dan kuat.
Dan, bilamana pula para ulama telah bersikap demikian maka berarti akan mudah
bagi mereka untuk mengikis habis segala bentuk kesyirikan dan penyakit TBC yang
sudah melanda umat begitu mereka mau meneliti bahwa hal tersebut tidak sesuai
dengan sunnah Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Terlebih lagi tentunya, bilamana mereka lebih memfokuskan kepada pemurnian
‘aqidah dari kesyirikan dan penyakit TBC tersebut tentu kejahilan umat akan
ajaran agamanya yang kebanyakannya berupa pengamalan terhadap penyakit tersebut
akan dapat teratasi dan terkikis sehingga perayaan semacam ‘Natal Bersama’
‘Valentine Days’ ‘Tahun Baru (Happy New Year)’ dan sebagainya tidak akan mampu
membuai dan menggoyahkan ‘aqidah mereka.
Inilah arti penting dari kontrol para ulama terhadap ‘aqidah umat dan upaya
pemurniannya dari segala bentuk kesyirikan dan penyakit TBC diatas.
Dengan begitu, para ulama telah ikut andil di dalam mensosialisasikan hadits
Rasulullah yang kita kaji ini dan dapat meminimalisir dampak dari apa yang
telah disinyalir oleh Rasulullah tersebut.
Korelasi Antara
Hadits Diatas Dengan Hadits Larangan Tasyabbuh
Terdapat korelasi yang amat
jelas antara hadits ini dengan hadits larangan Tasyabbuh (menyerupai)
dengan suatu kaum.
Dalam hadist diatas, Rasulullah mensinyalir bahwa umat ini akan mengikuti
sunnah (cara/metode) orang-orang Yahudi dan Nashrani. Maka, di dalam mengkuti
cara mereka tersebut terdapat penyerupaan di dalam banyak hal.
Dalam
hadits Rasulullah banyak sekali larangan agar kita jangan menyerupai suatu
kaum, terutama sekali terhadap orang-orang Yahudi dan Nashrani, diantaranya
sabda beliau: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia adalah
bagian dari mereka”. (H.R.)
Imam al-Munawy dan al-‘Alqamy
mengomentari makna ‘Barangsiapa menyerupai suatu kaum’, yakni secara
zhahirnya dia berpakaian seperti pakaian mereka, mengikuti gaya hidup dan
petunjuk mereka di dalam berpakaian serta sebagian perbuatan mereka.
Al-Qary mengatakan: “Barangsiapa menjadikan dirinya serupa dengan orang-orang
kafir, misalnya di dalam berpakaian dan selainnya atau serupa dengan
orang-orang fasiq, Ahli Tasawwuf atau serupa dengan orang-orang yang lurus dan
baik, maka ‘dia adalah bagian dari mereka’, yakni di dalam mendapatkan
dosa atau kebaikan/pahala”.
Dalam
hal ini, kami tidak ingin mengupas panjang lebar tentang Tasyabbuh karena
pembahasannya secara detail akan didapat pada pembahasan tentang hadits-hadist
larangan tasyabbuh tersebut.
Yang
jelas, fenomena merayakan ‘Tahun Baru’ tersebut masuk ke dalam katogeri
larangan Tasyabbuh.
Imbauan
Kami mengimbau agar saudaraku,
kaum Muslimin, membentengi diri dengan ‘aqidah yang benar sehingga tidak mudah
tergoda oleh hal-hal yang dapat menodai, mengotori apalagi menggoyahnya.
Kepada para orangtua, hendaknya mengarahkan pendidikan agama yang memadai
kepada anak-anak mereka terutama penekanan sisi ‘aqidah. Suruhlah mereka
belajar agama kepada para ustadz yang dikenal kokoh dan lurus ‘aqidahnya.
Tegurlah mereka bilamana melakukan perbuatan yang menyimpang dan tidak sesuai
dengan ajaran Islam. Ajarkanlah mereka al-Walâ’ dan al-Barâ’ sehingga
senantiasa bangga dengan agamanya dan loyal terhadap Allah dan Rasul-Nya
serta tidak menyukai segala bentuk kesyirikan dan penyimpangan yang berupa penyakit
TBC diatas.
Ajarkanlah mereka doa: “Ya Allah! anugerahilah kepada kami kecintaan
terhadap iman, dan anugerahilah kami kebencian terhadap kekufuran, kefasikan
dan perbuatan maksiat. Jadikanlah kami diantara orang-orang yang mendapat
petunjuk”.
Kepada para ulama, tunjukkanlah
kepada masyarakat contoh dan suriteladan yang baik. Ajarkanlah mereka bagaimana
membentengi diri dari segala bentuk penyelewengan terhadap ‘aqidah. Arahkan
mereka kepada manhaj ulama Salaf seperti para imam empat madzhab di dalam
‘aqidah dan menerima al-Haq. Bersama para tokoh masyarakat, berantaslah segala
bentuk kesyirikan, bid’ah, khurafat dan kemaksiatan. Terbukalah kepada dan
biasakanlah mereka untuk memperoleh rujukan yang shahih, kuat dan valid. Jangan
biasakan mereka dengan ‘taqlid buta’.
Semoga kita semua mendapatkan petunjuk Allah Ta’ala dan senantiasa dibimbing
oleh-Nya ke jalan yang diridlai-Nya. Amin. Wallahu a’lam
0 comments:
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda...