Wednesday 14 December 2011

Keistimewaan DIY yang Dipertaruhkan

Oleh : OKTAFIANI DWI KURNIA

PENDAHULUAN
           
            Indonesia memiliki berbagai suku budaya yang sangat beragam. Dari Sabang sampai Merauke memiliki berbagai macam kebudayaan, bahkan dari berbagai provinsi pun memiliki berbagai kebudayaan, salah satunya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Beragam budaya itu kita lestarikan dan kita pupuk terus agar terus berkembang dan tetap melegenda hingga anak cucu kita. Namun pada kenyataannya justru mulai memudar baik dari kalangan tua maupun anak muda sekali pun. Dan lebih parahnya lagi yang Pemerintah pun ikut dalam mempertanyakan dari salah satu kebudayaan Indonesia, untuk lebih tepatnya keistimewaan dari Yogyakarta.
            Keistimewaan Yogyakarta sudah ada sejak pemerintahan Sri Sultan I, kebidayaan itu turun temurun ke anak-anaknya, hingga sekarang. Selain sebagai sebuah kebudayaan, keistimewaan Yogyakarta itu sendiri dipandang sebagai sebuah keyakinan warga Yogyakarta bahwa bentuk dari Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah kerajaan. Hal itu yang sampai sekarang masih hangat diperbincangkan. Dari mulai warga Yogyakarta itu sendiri hingga kalangan Pemerintah, seperti Presiden SBY. Hal itu menurut saya sangat gegabah, karena keadaan psikis Daerah Istimewa Yogyakarta. Setelah dilanda bencana meletusnya Gunung Merapi, yang memakan begitu banyak korban dan materi. Belum hilang sakitnya akibat abu vulkanik, sudah diberi cobaan lagi, dengan pernyataan SBY bahwa DIY adalah provinsi yang menganut aliran monarkhi. Beliau berkata seperti itu karena melihat dari bentuk pemerintahan yang berupa kerajaan dan dari Pemimpin yang memerintah, merangkap sebagai Raja sekaligus sebagai Gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta.
            Indonesia menganut bentuk negara Republik, dimana tidak ada kerajaan dalam sebuah negara. Hal itu yang membuat Presiden SBY masih bertanya-tanya tentang keistimewaan Yogyakarta. SBY membuat sebuah RUU tentang DIY. Untuk lebih jelasnya akan saya bahas dalam pembahasan.




PEMBAHASAN

A.      Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara.

B.       Konflik RUU Keistimewaan DIY 
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar Rapat Peripurna Kabinet membahas kembali Rancangan Undang Undang (RUU) Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di Kantor Presiden, Kamis (2/12) petang. Rapat dihadiri hampir seluruh menteri Kabinet Indonesia Bersatu II. Dalam rapat tersebut, Presiden SBY kembali menegaskan bahwa RUU tersebut harus berpijak kepada tiga pilar, yakni keberadaan DIY dalam lingkungan NKRI, menghormati keistimewaan DIY, dan azas demokrasi.

"Ketiga formulasi azas itulah yang harus dicakup dalam perumusan bagaimana nanti kita menentukan sikap, atau menyampaikan rumusan draft RUU Keistimewaan DIY itu kepada DPR," Menko Polhukam Djoko Suyanto menjelaskan, seusai rapat. Dalam keterangan persnya, Menko Polhukam didampingi Mendagri Gamawan Fauzi, Menhuk dan HAM Patrialis Akbar, dan Seskab Dipo Alam.
Menurut Menko Polhukam, RUU ini paling tidak akan mengandung dua substansi. "Pertama, kita tetap menetapkan Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Pakualam IX sebagai orang yang nomor satu, tertinggi di wilayah itu. Tetapi kalau kita menganut azas demokratisasi, sesuai Pasal 18 UUD 1945, sebagai penyelenggara pemerintahan sehari-hari itu dipilih oleh rakyat secara demokratis," Djoko menambahkan.
Dalam RUU nanti, kuat opsi atau pandangan tersebut akan dicoba diformulasikan ke dalam satu pasal. Pemerintah mengajukan alternatif lain. "Nanti akan kita matangkan dan kita ajukan kepada DPR, dan nanti pasti akan ada diskursus, ada diskusi, ada kompromi-kompromi, namanya politik, dan itu adalah suatu hal yang wajar, sekaligus juga menampung aspirasi dari masyarakat luas, tidak hanya masyarakat Yogya, tapi juga masyarakat Indonesia secara utuh," kata Menko Polhukam.

C.       Nasib Keistimewaan DIY

Dalam RUU Keistimewaan DIY, Sultan Disebut Parardhya 



Jakarta - Dalam draf RUU Keistimewaan DIY ditemukan istilah Parardhya. Apakah kaitannya dengan keistimewaan Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam?

Dalam draf RUU Keistimewaan DIY, Parardhya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam yang bertahta secara sah. Parardhya adalah simbol, pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam RUU ini, Parardhya memiliki keistimewaan karena kedudukannya lebih tinggi dari Gubernur dan juga DPRD. Parardhya mempunyai hak veto terhadap kebijakan yang dikeluarkan Pemprov dan DPRD DIY.

Namun, istilah Parardhya ini dinilai tidak pas oleh Guru Besar Ilmu Adiministrasi UGM Sofian Effendi. Secara historis, Parardhya justru jabatan yang lebih rendah dari Gubernur atau Sultan pada masa Sultan Hamengku Buwono III.

"Istilah Parardhya sebenarnya kurang tepat untuk mendudukkan Sultan dan Paku Alam sebagai kepala negara di Yogyakarta. Karena Parardhya itu letaknya di bawah gubernur," ujar Guru Besar Ilmu Adiministrasi UGM Sofian Effendi saat berbincang dengan detikcom, Selasa (30/11/2010).

Menurut Sofian istilah Parardhya saat ini setingkat dengan jabatan kepala dinas atau kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di lingkungan pemerintahan di tingkat provinsi. Namun tidak demikian dalam konsepsi aslinya.

"Masa Sultan dikasih istilah yang lebih rendah dari gubernur? Dari awal ini salah," terangnya.

Kemendagri dalam waktu dekat akan menyerahkan draf RUU Keistimewaan DIY kepada DPR. RUU ini berlarut-larut karena terjadi perbedaan pendapat yang tajam tentang kepemimpinan DIY, apakah lewat pemilihan atau penetapan.

Sejumlah elemen di DIY mengeluarkan ancaman bila pemerintah bertahan pemimpin DIY ditetapkan lewat pemilihan daerah dan bukan penetapan seperti yang terjadi selama ini.

 Pro dan kontra Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta mengerucut pada satu tema, Gubernur dipilih langsung oleh rakyat atau ditetapkan. Perbedaan pendapat antara Istana dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X semakin kentara saat wacana referendum mengemuka.
Sultan meminta keputusan penentuan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih secara langsung harus disepakati melalui referendum. Pemerintah dan DPR, kata Raja Yogyakarta itu, tak bisa menentukan itu sendiri.
Keistimewaan Yogyakarta dipertanyakan? Pada Jumat 26 November lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka rapat kabinet terbatas di kantornya mengatakan tidak pernah melupakan sejarah dan keistimewaan DIY

Keistimewaan DIY itu sendiri berkaitan dengan sejarah dari aspek-aspek lain yang harus diperlakukan secara khusus sebagaimana pula yang diatur dalam Undang-undang Dasar. Maka itu harus diperhatikan aspek Indonesia adalah negara hukum dan negara demokrasi.

Pernyataan ini yang mungkin menuai kontroversi. “Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi mau pun nilai-nilai demokrasi,” kata SBY.

Sejak sebelum Indonesia merdeka, baru kali ini Keistimewaan Yogyakarta dipertanyakan. Status sebagai Daerah Istimewa itu merujuk pada runutan sejarah berdirinya propinsi ini, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan karena Yogyakarta adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya terdapat juga Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, di zaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen. Di zaman kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja.

Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono II ) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I.

Pemerintah Hindia Belanda saat itu mengakui Kasultanan maupun Pakualaman, sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan dalam kontrak politik. Terakhir kontrak politik Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941 No 47 dan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 Nomor 577.

Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengetok kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sri sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Pegangan hukumnya adalah:

1. Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden RI

2. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945 (yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah)

3. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945 (yang dibuat bersama dalam satu naskah).

Dengan dasar pasal 18 Undang-undang 1945, DPRD DIY menghendaki agar kedudukan sebagai Daerah Istimewa untuk Daerah Tingkat I, tetap lestari dengan mengingat sejarah pembentukan dan perkembangan Pemerintahan Daerahnya yang sepatutnya dihormati.
Pasal 18 undang-undang dasar 1945 itu menyatakan bahwa “pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa”.

Sebagai Daerah Otonom setingkat Propinsi, DIY dibentuk dengan Undang-undang No.3 tahun 1950, sesuai dengan maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut. Disebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah meliputi bekas Daerah/Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman.
http://unic77.info/asal-mula-keistimewaan-yogyakarta.html

0 comments:

Post a Comment

Tinggalkan komentar anda...