Oleh : OKTAFIANI DWI KURNIA
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki berbagai suku budaya yang sangat
beragam. Dari Sabang sampai Merauke memiliki berbagai macam kebudayaan, bahkan
dari berbagai provinsi pun memiliki berbagai kebudayaan, salah satunya adalah
Daerah Istimewa Yogyakarta. Beragam budaya itu kita lestarikan dan kita pupuk
terus agar terus berkembang dan tetap melegenda hingga anak cucu kita. Namun
pada kenyataannya justru mulai memudar baik dari kalangan tua maupun anak muda
sekali pun. Dan lebih parahnya lagi yang Pemerintah pun ikut dalam
mempertanyakan dari salah satu kebudayaan Indonesia, untuk lebih tepatnya
keistimewaan dari Yogyakarta.
Keistimewaan Yogyakarta sudah ada sejak pemerintahan Sri
Sultan I, kebidayaan itu turun temurun ke anak-anaknya, hingga sekarang. Selain
sebagai sebuah kebudayaan, keistimewaan Yogyakarta itu sendiri dipandang
sebagai sebuah keyakinan warga Yogyakarta bahwa bentuk dari Daerah Istimewa Yogyakarta
adalah sebuah kerajaan. Hal itu yang sampai sekarang masih hangat
diperbincangkan. Dari mulai warga Yogyakarta itu sendiri hingga kalangan
Pemerintah, seperti Presiden SBY. Hal itu menurut saya sangat gegabah, karena
keadaan psikis Daerah Istimewa Yogyakarta. Setelah dilanda bencana meletusnya
Gunung Merapi, yang memakan begitu banyak korban dan materi. Belum hilang
sakitnya akibat abu vulkanik, sudah diberi cobaan lagi, dengan pernyataan SBY
bahwa DIY adalah provinsi yang menganut aliran monarkhi. Beliau berkata seperti
itu karena melihat dari bentuk pemerintahan yang berupa kerajaan dan dari Pemimpin
yang memerintah, merangkap sebagai Raja sekaligus sebagai Gubernur di Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Indonesia menganut bentuk negara Republik, dimana tidak
ada kerajaan dalam sebuah negara. Hal itu yang membuat Presiden SBY masih
bertanya-tanya tentang keistimewaan Yogyakarta. SBY membuat sebuah RUU tentang
DIY. Untuk lebih jelasnya akan saya bahas dalam pembahasan.
PEMBAHASAN
A. Sejarah Daerah Istimewa
Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia
setelah Jawa Timur,
yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga
memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah
warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal
atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent
state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis
(Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia
Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat
XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende
Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini
membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan
mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan
tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum
oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno
yang duduk dalam BPUPKI
dan PPKI sebagai sebuah daerah
bukan lagi sebagai sebuah negara.
B. Konflik RUU Keistimewaan
DIY
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menggelar Rapat Peripurna Kabinet membahas kembali Rancangan Undang
Undang (RUU) Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di Kantor Presiden,
Kamis (2/12) petang. Rapat dihadiri hampir seluruh menteri Kabinet Indonesia
Bersatu II. Dalam rapat tersebut, Presiden SBY kembali menegaskan bahwa RUU
tersebut harus berpijak kepada tiga pilar, yakni keberadaan DIY dalam
lingkungan NKRI, menghormati keistimewaan DIY, dan azas demokrasi.
"Ketiga formulasi azas itulah yang harus dicakup dalam perumusan bagaimana nanti kita menentukan sikap, atau menyampaikan rumusan draft RUU Keistimewaan DIY itu kepada DPR," Menko Polhukam Djoko Suyanto menjelaskan, seusai rapat. Dalam keterangan persnya, Menko Polhukam didampingi Mendagri Gamawan Fauzi, Menhuk dan HAM Patrialis Akbar, dan Seskab Dipo Alam.
"Ketiga formulasi azas itulah yang harus dicakup dalam perumusan bagaimana nanti kita menentukan sikap, atau menyampaikan rumusan draft RUU Keistimewaan DIY itu kepada DPR," Menko Polhukam Djoko Suyanto menjelaskan, seusai rapat. Dalam keterangan persnya, Menko Polhukam didampingi Mendagri Gamawan Fauzi, Menhuk dan HAM Patrialis Akbar, dan Seskab Dipo Alam.
Menurut Menko Polhukam, RUU
ini paling tidak akan mengandung dua substansi. "Pertama, kita tetap
menetapkan Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Pakualam IX sebagai orang yang nomor
satu, tertinggi di wilayah itu. Tetapi kalau kita menganut azas demokratisasi,
sesuai Pasal 18 UUD 1945, sebagai penyelenggara pemerintahan sehari-hari itu
dipilih oleh rakyat secara demokratis," Djoko menambahkan.
Dalam RUU nanti, kuat opsi
atau pandangan tersebut akan dicoba diformulasikan ke dalam satu pasal.
Pemerintah mengajukan alternatif lain. "Nanti akan kita matangkan dan kita
ajukan kepada DPR, dan nanti pasti akan ada diskursus, ada diskusi, ada
kompromi-kompromi, namanya politik, dan itu adalah suatu hal yang wajar,
sekaligus juga menampung aspirasi dari masyarakat luas, tidak hanya masyarakat
Yogya, tapi juga masyarakat Indonesia secara utuh," kata Menko Polhukam.
C. Nasib Keistimewaan DIY
Dalam RUU Keistimewaan DIY, Sultan Disebut Parardhya
Jakarta - Dalam draf RUU Keistimewaan
DIY ditemukan istilah Parardhya. Apakah kaitannya dengan keistimewaan Sultan
Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam?
Dalam draf RUU Keistimewaan DIY, Parardhya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam yang bertahta secara sah. Parardhya adalah simbol, pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam RUU ini, Parardhya memiliki keistimewaan karena kedudukannya lebih tinggi dari Gubernur dan juga DPRD. Parardhya mempunyai hak veto terhadap kebijakan yang dikeluarkan Pemprov dan DPRD DIY.
Namun, istilah Parardhya ini dinilai tidak pas oleh Guru Besar Ilmu Adiministrasi UGM Sofian Effendi. Secara historis, Parardhya justru jabatan yang lebih rendah dari Gubernur atau Sultan pada masa Sultan Hamengku Buwono III.
"Istilah Parardhya sebenarnya kurang tepat untuk mendudukkan Sultan dan Paku Alam sebagai kepala negara di Yogyakarta. Karena Parardhya itu letaknya di bawah gubernur," ujar Guru Besar Ilmu Adiministrasi UGM Sofian Effendi saat berbincang dengan detikcom, Selasa (30/11/2010).
Menurut Sofian istilah Parardhya saat ini setingkat dengan jabatan kepala dinas atau kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di lingkungan pemerintahan di tingkat provinsi. Namun tidak demikian dalam konsepsi aslinya.
"Masa Sultan dikasih istilah yang lebih rendah dari gubernur? Dari awal ini salah," terangnya.
Kemendagri dalam waktu dekat akan menyerahkan draf RUU Keistimewaan DIY kepada DPR. RUU ini berlarut-larut karena terjadi perbedaan pendapat yang tajam tentang kepemimpinan DIY, apakah lewat pemilihan atau penetapan.
Sejumlah elemen di DIY mengeluarkan ancaman bila pemerintah bertahan pemimpin DIY ditetapkan lewat pemilihan daerah dan bukan penetapan seperti yang terjadi selama ini.
Dalam draf RUU Keistimewaan DIY, Parardhya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam yang bertahta secara sah. Parardhya adalah simbol, pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam RUU ini, Parardhya memiliki keistimewaan karena kedudukannya lebih tinggi dari Gubernur dan juga DPRD. Parardhya mempunyai hak veto terhadap kebijakan yang dikeluarkan Pemprov dan DPRD DIY.
Namun, istilah Parardhya ini dinilai tidak pas oleh Guru Besar Ilmu Adiministrasi UGM Sofian Effendi. Secara historis, Parardhya justru jabatan yang lebih rendah dari Gubernur atau Sultan pada masa Sultan Hamengku Buwono III.
"Istilah Parardhya sebenarnya kurang tepat untuk mendudukkan Sultan dan Paku Alam sebagai kepala negara di Yogyakarta. Karena Parardhya itu letaknya di bawah gubernur," ujar Guru Besar Ilmu Adiministrasi UGM Sofian Effendi saat berbincang dengan detikcom, Selasa (30/11/2010).
Menurut Sofian istilah Parardhya saat ini setingkat dengan jabatan kepala dinas atau kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di lingkungan pemerintahan di tingkat provinsi. Namun tidak demikian dalam konsepsi aslinya.
"Masa Sultan dikasih istilah yang lebih rendah dari gubernur? Dari awal ini salah," terangnya.
Kemendagri dalam waktu dekat akan menyerahkan draf RUU Keistimewaan DIY kepada DPR. RUU ini berlarut-larut karena terjadi perbedaan pendapat yang tajam tentang kepemimpinan DIY, apakah lewat pemilihan atau penetapan.
Sejumlah elemen di DIY mengeluarkan ancaman bila pemerintah bertahan pemimpin DIY ditetapkan lewat pemilihan daerah dan bukan penetapan seperti yang terjadi selama ini.
Pro dan kontra Rancangan Undang-Undang Keistimewaan
(RUUK) Yogyakarta mengerucut pada satu tema, Gubernur dipilih langsung oleh
rakyat atau ditetapkan. Perbedaan pendapat antara Istana dengan Sri Sultan
Hamengku Buwono X semakin kentara saat wacana referendum mengemuka.
Sultan meminta keputusan penentuan Gubernur dan Wakil
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih secara langsung harus disepakati
melalui referendum. Pemerintah dan DPR, kata Raja Yogyakarta itu, tak bisa
menentukan itu sendiri.
Keistimewaan Yogyakarta dipertanyakan? Pada Jumat 26
November lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka rapat kabinet
terbatas di kantornya mengatakan tidak pernah melupakan sejarah dan
keistimewaan DIY
Keistimewaan DIY itu sendiri berkaitan dengan sejarah
dari aspek-aspek lain yang harus diperlakukan secara khusus sebagaimana pula
yang diatur dalam Undang-undang Dasar. Maka itu harus diperhatikan aspek
Indonesia adalah negara hukum dan negara demokrasi.
Pernyataan ini yang mungkin menuai kontroversi.
“Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada
sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi mau pun nilai-nilai
demokrasi,” kata SBY.
Sejak sebelum Indonesia merdeka, baru kali ini
Keistimewaan Yogyakarta dipertanyakan. Status sebagai Daerah Istimewa itu
merujuk pada runutan sejarah berdirinya propinsi ini, baik sebelum maupun
sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai
tradisi pemerintahan karena Yogyakarta adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya
terdapat juga Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal-usul dengan
pemerintahannya sendiri, di zaman penjajahan Hindia Belanda disebut
Zelfbesturende Landschappen. Di zaman kemerdekaan disebut dengan nama Daerah
Swapraja.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755
didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku
Buwono I. Kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran
Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono II ) kemudian bergelar Adipati Paku
Alam I.
Pemerintah Hindia Belanda saat itu mengakui Kasultanan
maupun Pakualaman, sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri.
Semua itu dinyatakan dalam kontrak politik. Terakhir kontrak politik Kasultanan
tercantum dalam Staatsblad 1941 No 47 dan kontrak politik Pakualaman dalam
Staatsblaad 1941 Nomor 577.
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengetok kawat kepada Presiden RI, menyatakan
bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah
Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu mewujudkan satu
kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sri sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII
sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada
Presiden Republik Indonesia. Pegangan hukumnya adalah:
1. Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan
Sri Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden RI
2. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri
Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945 (yang dibuat sendiri-sendiri secara
terpisah)
3. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku
Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945 (yang dibuat bersama dalam satu naskah).
Dengan dasar pasal 18 Undang-undang 1945, DPRD DIY
menghendaki agar kedudukan sebagai Daerah Istimewa untuk Daerah Tingkat I,
tetap lestari dengan mengingat sejarah pembentukan dan perkembangan
Pemerintahan Daerahnya yang sepatutnya dihormati.
Pasal 18 undang-undang dasar 1945 itu menyatakan bahwa
“pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat
dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul
dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa”.
Sebagai Daerah Otonom setingkat Propinsi, DIY dibentuk
dengan Undang-undang No.3 tahun 1950, sesuai dengan maksud pasal 18 UUD 1945
tersebut. Disebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah meliputi bekas
Daerah/Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman.
http://unic77.info/asal-mula-keistimewaan-yogyakarta.html
0 comments:
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda...