Ditulis Oleh: Prof. Dr.
H. Mudjia Rahardjo
Setiap mengawali perkulihan
matakuliah metodologi penelitian, saya selalu berharap agar para mahasiswa
memahami materi matakuliah dengan baik sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir,
baik skripsi, tesis maupun disertasi dengan baik pula. Penguasaan metodologi
penelitian merupakan syarat utama bagi siapa pun yang akan melakukan
penelitian. Jika berharap hasil yang baik, belajar metodologi penelitian tidak
bisa dilakukan secara asal-asalan. Sayangnya tidak semua mahasiswa menyadari
hal itu, sehingga kehadirannya tidak dimaksimalkan untuk menguasai materi,
melainkan sekadar memenuhi jam wajib hadir. Jika ini terjadi, siapa pun yang
mengajar, berapa lama pun belajar dengan metode apa pun, maka hasil maksimal
itu tidak akan pernah tercapai, sehingga waktu perkuliahan hilang begitu saja
tanpa membawa manfaat berarti.
Skripsi, tesis atau disertasi
hakikatnya merupakan hasil penelitian yang telah dilaporkan ke khalayak setelah
beberapa tahapan dilalui, mulai penyusunan proposal, seminar proposal,
pengumpulan data, analisis data, dan seminar hasil penelitian hingga ujian.
Demikkian banyak tahapan yang dilalui oleh seorang calon sarjana, magister atau
doktor, sehingga diharapkan karya akhir itu berkualitas. Mahasiswa bisasanya
bertanya apa ukuran kualitas karya ilmiah? Berikut uraiannya.
Ada beberapa ukuran untuk menilai
kualitas karya ilmiah, sebagai berikut: (1) novelty (kebaruan), artinya
bidang yang dikaji sangat baru dan relevan dengan kebutuhan masyarakat, (2)
memberikan kontribusi nyata bagi kehidupan, (3) dilalui dengan proses
metodologis yang benar, (4) bukan pengulangan, apalagi penjiplakan, dari karya
sebelumnya, dan (5) dilakukan dengan penuh kejujuran.
Novelty atau kebaruan sangat penting
sebagai tolok ukur karya ilmiah. Logikannya sederhana, hal-hal baru biasanya
menarik perhatian orang untuk dipelajari dan dikaji lebih dalam. Ilmu
pengetahuan berkembang demikian cepat sehingga menuntut orang untuk selalu
ingin mengetahui perkembangan terbaru dalam setiap bidang ilmu pengetahuan.
Orang mesti berpikir untuk apa membuang-buang waktu dan menghabiskan energi
mengkaji hal-hal yang telah usang dan tidak ada lagi gunanya. Persoalannya
bagaimana seorang peneliti tahu bahwa materi kajiannya merupakan hal baru. Hal
ini bisa dilakukan dengan cara melakukan kajian terhadap penelitian atau studi-
studi terdahulu yang sudah terpublikasikan lewat jurnal, buku ilmiah, majalah
atau lewat internet , yang para ahli meneybutnya sebagai ‘state of the arts’.
.
Pencarian karya sebelumnya bukan
pekerjaan gampang. Biasanya orang mudah putus asa pada tahapan ini. Sebab,
pekerjaan ini menguras energi dan pikiran yang tidak sedikit. Pelacakan studi
sebelumnya tidak saja siapa meneliti apa dan di mana, melainkan juga apa yang
diteliti, bagaimana menelitinya (metodenya apa), teori apa yang digunakandan
dengan hasil apa. Dan, diteruskan dengan mediskusikan hasil penelitian itu
dengan penelitian yang lain untuk sampai pada akhirnya menempatkan posisi
rencana penelitian kita dalam jejeran penelitian-penelitian sebelumnya. Dengan
demikian, semakin panjang daftar jumlah penelitian terdahulu dapat diketahui,
maak akan semakin jelas posisi rencana penelitian kita. Persoalan klasik yang
selalu muncul --- dan, maaf, merupkan penyakit peneliti—adalah orang selalu
ingin menyebut penelitiannya yang paling baru, dan bahkan satu-satunya di
bidangnya karena belum ada orang lain yang melakukan hal itu. Ungkapan demikian
sering saya peroleh ketika melakukan pembimbingan dan ujian, bahkan sampai
tingkat disertasi sekalipun. Karena itu, kepada mahasiswa saya selalu
wanti-wanti untuk tidak mengatakan “penelitian saya adalah yang pertama’.
Sebenarnya ungkapan demikian bisa dihindari jika peneliti sanggup melakukan
kajian secara menyeluruh terhadap penelitian sebelumnya. Persoalannya orang
belum tahu siapa saja yang telah melakukan penelitian bidang sejenis sudah
buru-buru mengatakan penelitiannya merupakan yang pertama. Belum diketahui
bukan berarti tidak ada.
Keuntungan lain dengan melakukan pelacakan
studi sebelumnya secara tuntas adalah untuk mengetahui wilayah mana saja yang
sudah dikaji oleh peneliti terdahulu, sehingga bisa memudahkan peneliti
menyusun rumusan masalah atau fokus penelitian baru. Banyak orang menemui
kesulitan menyusun rumusan masalah karena berangkat dari pengetahuan kosong,
sehingga rumusan yang disusun bukan merupakan rumusan masalah/pertanyaan
penelitian sesuai metodologi penelitian. Atau, bisa jadi rumusan masalah itu
merupakan rumusan yang bermasalah. Ini sering dijumpai pada proposal atau hasil
penelitian para peneliti pemula. Rumusan masalah penelitian bukan sekadar
pertanyaan biasa, melainkan pertanyaan konseptual yang untuk menjawabnya
diperlukan renungan dan analisis data. Para ahli menyarankan untuk tidak membuat
rumusan masalah yang bersifat teleologis, artinya pertanyaan yang jawabnya
sudah banyak diketahui khalayak umum.
Penelitian
merupakan kerja dan aktivits ilmiah untuk mengungkap masalah yang tidak
diketahui oleh orang awam. Karena itu, peneliti bukan orang sembarangan. Dia
ada;lah ilmuwan yang tugasnya membuka misteri di balik fenomena melalui kerja
yang sistematis dan sistemik dengan hasil yang bisa dipertanggungjawabkan di
hadapan orang banyak. Dengan istilah lain, sebagai kerja ilmiah maka hasil
penelitian harus bisa diverifikasi oleh siapa saja, di mana saja dan kapan
saja. Karena itu, bukan pertanyaan penelitian jika jawabannya sudah dapat
ditebak dan diketahui oleh masyarakat banyak. Untuk menghindari hal itu, maka
seorang peneliti bisa mengajukan pertanyaan penelitian berangkat dari masalah
yang telah diteliti sebelumnya. Bolehkah ini dilakukan? Jawabnya boleh, asalkan
dilakukan dengan metode dan perspektif lain. Gejala atau fenomena yang sama
diteliti dengan cara yang berbeda dan dengan menggunakan perspektif yang
berbeda akan memperkaya khasanah pengetahuan.
( Sumber : Kabar Pendidikan )
( Sumber : Kabar Pendidikan )
0 comments:
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda...