Disusun Oleh:
Ageng Satria Pamungkas
Firda Mustika Galih Pramulan
Dianita Prastiwi
Muhammad Arif
Tri Nugroho
* Mahasiswa
Universitas Negeri Yogyakarta *
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan Nasional adalah
pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama kebudayaan nasional
Indonesia dan tanggap terhadap perubahan jaman (UU RI No.20 Th, 2003:5).
Dari jaman
dahulu, pendidikan merupakan faktor yang sangat penting untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa serta membebaskannya dari belenggu penjajahan. Selain melalui
organisasi po1itik, perjuangan ke arah kemerdekaan per1u dilakukan melalui
jalur pendidikan karena pendidikan sangat berperan penting untuk menjadikan
bangsa ini menjadi bangsa yang maju. Bangsa yang maju adalah bangsa yang
memiliki SDM yang berkulitas dan semua itu didapatkan dari sistem pendidikan
yang sesesuai dengan karakteristik bangsa ini.
Dan untuk
mewujudkan kemajuan bangsa ini terutama dibidang pendidikan tentunya ada
permasalahan dan juga tantangan, baik dari dalam maupun luar. Semua itu perlu
kita sikapi dengan tepat. Supaya apa yang dicita-citakan bangsa ini bisa
tercapai.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa saja permasalahan
pendidikan di Indonesia ?
- Apakah tantangan pendidikan di Indonesia?
- Bagaimana solusi untuk menghadapi tantangan dan permasalahan yang ada?
C.
Tujuan Permasalahan
Makalah ini dibuat
untuk mengetauhi apa saja permasalahan dan tantangan pendidikan di Indonesia.
Baik permasalahan yang disebabkan dari sistem pendidikanya maupun permasalahan
yang disebabkan oleh pelaksanaanya. Serta tantangan-tantangan yang harus
dihadapi dalam era globalisasi. Dan juga untuk mengetahui bagaimana solusi
untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Permasalahan Pendidikan
yang ada di Indonesia
Pendidikan mempunyai tugas untuk
menyiapkan sumber daya manuasia untuk menghadapi tantangan yang timbul akibat
perkembangan jaman. Mengenai masalah pendidikan, semakin berkembangnya jaman,
selalu memunculkan permasalahan baru yang tidak pernah terfikir sebelumnya. Sama halnya dengan pendidikan di negara kita pastinya
akan selalu ada permasalahan dan tantangan yang timbul. Selain itu, ada lagi
permasalahnnya, yaitu perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim.
Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit.
Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang professional, biaya pendidikan
yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan yang kacau. Dampak dari pendidikan yang
buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga
akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat
nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten. (http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Masalah%20Pendidikan%20di%20Indonesia & & nomorurut_artikel=364, 14/03/2011, 11:44:25).
Selain
masalah-masalah yang ada diatas rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia juga
disebabkan oleh dua masalah yang kompleks.
Pertama, masalah
mendasar, yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan
penyelenggaran sistem pendidikan.
Kedua,
masalah-masalah cabang, yaitu berbagai problem yang berkaitan aspek
praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan, seperti :
1.
Rendahnya Kualitas
Sarana Fisik
2.
Rendahnya Kualitas Guru
3.
Rendahnya Kesejahteraan
Guru
4.
Rendahnya Kesejahteraan
Guru
5.
Kurangnya Pemerataan
Kesempatan Pendidikan
6.
Rendahnya Relevansi
Pendidikan Dengan Kebutuhan
7.
Mahalnya Biaya
Pendidikan
Masalah
yang kedua menurut artikel yang ditulis
oleh Franky dalam Pendidikan di Indonesia http://mii.fmipa.ugm.ac.id/?p=121 yang diambil pada tanggal 14 Maret 2011
adalah masalah cabang, yaitu antara lain :
1.
Rendahnya Kualitas
Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak
sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan
penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi
informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak
memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki
laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang
Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang
menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh
ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau
34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami
kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih
tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga
terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak
sama.
2.
Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di
Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut
dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan
pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja,
sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase
guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan
pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94%
(swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29%
(negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49%
(negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar
itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data
Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya
13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari
sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma
D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru
57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari
181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan
S3).
Walaupun guru dan
pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, tetapi
pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin
kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas
pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang
rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3.
Rendahnya Kesejahteraan
Guru
Rendahnya
kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan
Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada
pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp
3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5
juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp
10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru
terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain,
memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang
buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli 2005).
Dengan adanya UU
Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan.
Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu
disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai,
antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan
profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan
tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak
atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri
menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah
kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9
Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak
sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan
Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4.
Rendahnya Prestasi
Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu
(rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian
prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan.
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi
bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian
yang memerlukan penalaran. Hal
ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal
pilihan ganda.
5.
Kurangnya Pemerataan
Kesempatan Pendidikan.
Kesempatan
memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang
Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama
tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada
tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk
kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu
54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih
sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan
menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu
diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk
mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut
6.
Rendahnya
Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat
dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang
dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang
dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT
sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja
cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan
15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta
anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan
masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil
pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya
kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik
memasuki dunia kerja.
7.
Mahalnya Biaya
Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat
ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan
masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari
Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin
tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh
sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini
dibutuhkan biaya Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di
atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya
biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang
menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya
lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu,
Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan
adanya unsur pengusaha.
Asumsinya,
pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite
Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan
Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan,
karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah
orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya
menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi
legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan
pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan
lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP).
Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas
memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status
itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan
warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi
Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan
MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN
sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan
Tinggi favorit.
Privatisasi atau
semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari
tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar
negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan
faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap
pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong
hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Bagi masyarakat
tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu
harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis,
Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi
yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang
menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan
berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau
gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah
sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh
pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan
bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari
tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi
Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
B.
Tantangan Pendidikan di
Era Globalisasi
Globalisasi
sebagai sebuah proses mempunyai sejarah yang panjang. Globalisasi meniscayakan
terjadinya perdagangan bebas dan dinilai menjadi ajang kreasi dan
perluasan bagi pertumbuhan perdagangan dunia, serta pembangunan dengan
sistem pengetahuan. Hal ini berarti bahwa terjadinya perubahan sosial yang mengubah
pola komunikasi, teknologi, produksi dan konsumsi serta peningkatan paham
internasionalisme merupakan sebuah nilai budaya. Terjadinya era globalisasi
memberi dampak ganda; dampak yang menguntungkan dan dampak yang merugikan.
Dampak yang menguntungkan adalah memberi kesempatan kerjasama yang
seluas-luasnya kepada negara-negara asing. Tetapi di sisi lain, jika kita tidak
mampu bersaing dengan mereka, karena sumber daya manusia (SDM) yang lemah, maka
konsekuensinya akan merugikan bangsa kita.
Oleh karena
itu, tantangan kita pada masa yang akan datang ialah meningkatkan daya saing
dan keunggulan kompetitif di semua sektor, baik sektor riil maupun moneter,
dengan mengandalkan pada kemampuan SDM, teknologi, dan manajemen tanpa
mengurangi keunggulan komparatif yang telah dimiliki bangsa kita. Terjadinya
perdagangan bebas harus dimanfaatkan oleh semua pihak dalam berbagai aspek
kehidupan, termasuk aspek pendidikan, di mana pendidikan diharuskan mampu
menghadapi perubahan yang cepat dan sangat besar dalam tentangan pasar bebas,
dengan melahirkan manusia-manusia yang berdaya saing tinggi dan tangguh. Sebab
diyakini, daya saing yang tinggi inilah agaknya yang akan menentukan tingkat
kemajuan, efisiensi dan kualitas bangsa untuk dapat memenangi persaingan era pasar
bebas yang ketat tersebut. SDM yang tangguh, menurut Muslimin Nasution (1998),
adalah SDM yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Tugas
pendidikan, selain mempersiapkan sumber daya manusia sebagai subjek
perdagangan bebas, juga membina penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
nyatanya sangat berperan dalam membantu dunia usaha dalam upaya meningkatkan
perekonomian nasional.
(http://www.fai.umj.ac.id/index.php?option=com_content & task=view & id=23 & Itemid=54, 14-03-2011 ; 15:34).
Dengan semakin
cepatnya arus globalisasi, dunia pendidikan sekarang ini menghadapi berbagai
tantangan. Dunia pendidikan dituntut agar dapat mendorong dan mengupayakan
peningkatan kemampuan dasar untuk menjadi individu yang unggul dan memiliki
daya saing kuat secara cepat. Sementara pandangan masyarakat pada umumnya
mengenai pendidikan bersifat konvensional yaitu mengkaitkan penyelenggaraan
pendidikan dan pembelajaran yang terjadi hanya berlangsung di dalam kelas, di
mana sejumlah murid atau peserta belajar secara bersama-sama memperoleh
pelajaran dari seorang guru atau instruktur.
Adanya isu sentral
rendahnya mutu atau kualitas dan relevansi pendidikan membuat lembaga
pendidikan seperti sekolah dituntut untuk mempersiapkan Sumber Daya Manusia
yang kompeten. Di tambah lagi adanya otonomi daerah juga membawa
perubahan-perubahan serta penyesuaian pendidikan demokratis, yang sangat
memperhatikan keragaman kebutuhan daerah dan pebelajar itu sendiri. Timbulnya
berbagai tuntutan tersebut membawa konsekwensi pada perubahan paradigma dalam
belajar mengajar menjadi pembelajaran. Strategi dan pendekatan pembelajaran
tidak lagi bertumpu pada guru tetapi berorientasi pada siswa sebagai subyek
(student centered). Guru bukan lagi satu-satunya sumber belajar bagi siswa.
Tanpa guru, pembelajaran tetap dapat dilaksanakan karena adanya sumber belajar
yang lain. Sehubungan hal tersebut para pendidik atau guru di sekolah
diharapkan untuk dapat menggunakan sumber belajar secara tepat.
C.
Solusi
untuk menghadapi permasalahan dan
tantangan pendidikan
Dari permasalahan-permasalahan yang sudah disebutkan
diatas yaitu antara lain :
1.
Rendahnya Kualitas
Sarana Fisik
2.
Rendahnya Kualitas Guru
3.
Rendahnya Kesejahteraan
Guru
4.
Rendahnya Kesejahteraan
Guru
5.
Kurangnya Pemerataan
Kesempatan Pendidikan
6.
Rendahnya
Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
7.
Mahalnya Biaya
Pendidikan
Pastinya semua itu
harus memiliki solusinya, berdasarkan masalah-masalah tersebut. Untuk mengatasi
masalah-masalah cabang di atas menurut artikel yang ditulis oleh Franky di
Pendidikan di Indonesia Masalah dan
Solusinya (http://mii.fmipa.ugm.ac.id/?p=121) yang diambil pada
tanggal 14 Maret 2011 , secara garis
besar ada dua solusi yaitu:
Pertama, solusi
sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan
dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan
sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini,
diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme),
yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam
urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk
masalah-masalah cabang yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan
–seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan gutu, dan mahalnya biaya
pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Yaitu
system ekonomi yang juga mementingkan pendidikan.
Kedua, solusi
teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung
dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas
guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk
masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di
samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan
membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan
memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya
prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan
kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana
pendidikan, dan sebagainya.
Solusi tantangan pendidikan nasional
Dilihat dari
tantangan pendidikan nasional yaitu globalisasi, masuknya pasar bebas di
Indonesia membuat daya saing antar negara meningkat. Lalu untuk menghadapi tantangan
tersebut kita harus meningkatkan sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi
dan tangguh. Sebab diyakini, daya saing yang tinggi inilah agaknya yang akan
menentukan tingkat kemajuan, efisiensi dan kualitas bangsa untuk dapat
memenangi persaingan era pasar bebas yang ketat tersebut.
SDM yang tangguh,
menurut Muslimin Nasution (1998), adalah SDM yang menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi (IPTEK). Tugas pendidikan, selain mempersiapkan
sumber daya manusia sebagai subjek perdagangan bebas, juga membina penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang nyatanya sangat berperan dalam membantu
dunia usaha dalam upaya meningkatkan perekonomian nasional. (http://www.fai.umj.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=23&Itemid=54, 14-03-2011 ; 15:34)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jadi untuk
menghadapi persaingan pendidikan di era globalisasi ini kita perlu menyiapkan
sumber daya manusia yang kompetitif dengan memperbaiki sistem pendidikan kita
yang terkesan sekulerisme dan materialistik. Pemerintah harusnya juga ikut
bertanggungjawab dalam pemerataan pendidikan sehingga pendidikan yang layak
dapat dinikmati semua kalangan masyarakat baik yang kaya ataupun miskin.
B.
Saran
Pemerintah harus memperhatikan
pendidikan dengan cara mengutamakan pendidikan baik dengan memperbaiki
sistemnya atau memberikan anggaran pendidikan yang lebih untuk memperbaiki
sarana dan prasarana maupun keperluan yang lain, guna meningkatkan mutu
pendidikan di negara kita. Karena
dengan pendidikan yang berkualitas maka akan terbentuk juga SDM yang
berkualitas guna menghadapi era global yang akan memasuki era pasar bebas.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Masalah%20Pendidikan%20di%20Indonesia & & nomorurut_artikel=364, 14/03/2011, 11:44:25
http://www.fai.umj.ac.id/index.php?option=com_content & task=view & id=23 & Itemid=54, 14-03-2011 ; 15:34
0 comments:
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda...