Wednesday, 1 February 2012

MAKALAH PENDIDIKAN NASIONAL “PERMASALAHAN DAN TANTANGAN PENDIDIKAN NASIONAL”


Disusun Oleh:
Ageng Satria Pamungkas
Firda Mustika Galih Pramulan
Dianita Prastiwi
Muhammad Arif
Tri Nugroho
* Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta *


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap perubahan jaman (UU RI No.20 Th, 2003:5).
Dari jaman dahulu, pendidikan merupakan faktor yang sangat penting untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta membebaskannya dari belenggu penjajahan. Selain melalui organisasi po1itik, perjuangan ke arah kemerdekaan per1u dilakukan melalui jalur pendidikan karena pendidikan sangat berperan penting untuk menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang maju. Bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki SDM yang berkulitas dan semua itu didapatkan dari sistem pendidikan yang sesesuai dengan karakteristik bangsa ini.
Dan untuk mewujudkan kemajuan bangsa ini terutama dibidang pendidikan tentunya ada permasalahan dan juga tantangan, baik dari dalam maupun luar. Semua itu perlu kita sikapi dengan tepat. Supaya apa yang dicita-citakan bangsa ini bisa tercapai.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja permasalahan pendidikan di Indonesia ?
    1. Apakah tantangan pendidikan di Indonesia?
    2. Bagaimana solusi untuk menghadapi tantangan dan permasalahan yang ada?

C.    Tujuan Permasalahan
Makalah ini dibuat untuk mengetauhi apa saja permasalahan dan tantangan pendidikan di Indonesia. Baik permasalahan yang disebabkan dari sistem pendidikanya maupun permasalahan yang disebabkan oleh pelaksanaanya. Serta tantangan-tantangan yang harus dihadapi dalam era globalisasi. Dan juga untuk mengetahui bagaimana solusi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Permasalahan Pendidikan yang ada di Indonesia
Pendidikan mempunyai tugas untuk menyiapkan sumber daya manuasia untuk menghadapi tantangan yang timbul akibat perkembangan jaman. Mengenai masalah pendidikan, semakin berkembangnya jaman, selalu memunculkan permasalahan baru yang tidak pernah terfikir sebelumnya. Sama halnya dengan pendidikan di negara kita pastinya akan selalu ada permasalahan dan tantangan yang timbul. Selain itu, ada lagi permasalahnnya, yaitu perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang professional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan yang kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten. (http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Masalah%20Pendidikan%20di%20IndonesiaHYPERLINK "http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Masalah%20Pendidikan%20di%20Indonesia&&nomorurut_artikel=364"&HYPERLINK "http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Masalah%20Pendidikan%20di%20Indonesia&&nomorurut_artikel=364"&HYPERLINK "http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Masalah%20Pendidikan%20di%20Indonesia&&nomorurut_artikel=364"nomorurut_artikel=364, 14/03/2011, 11:44:25).

Selain masalah-masalah yang ada diatas rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia juga disebabkan oleh dua masalah yang kompleks.
Pertama, masalah mendasar, yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan.
Kedua, masalah-masalah cabang, yaitu berbagai problem yang berkaitan aspek praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan, seperti :
1.      Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
2.      Rendahnya Kualitas Guru
3.      Rendahnya Kesejahteraan Guru
4.      Rendahnya Kesejahteraan Guru
5.      Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
6.      Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
7.      Mahalnya Biaya Pendidikan

Masalah yang kedua  menurut artikel yang ditulis oleh Franky dalam Pendidikan di Indonesia http://mii.fmipa.ugm.ac.id/?p=121  yang diambil pada tanggal 14 Maret 2011 adalah masalah cabang, yaitu antara lain :
1.      Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2.      Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, tetapi pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3.      Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4.       Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan.  Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
5.      Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut
6.      Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7.      Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.



B.     Tantangan Pendidikan di Era Globalisasi
Globalisasi sebagai sebuah proses mempunyai sejarah yang panjang. Globalisasi meniscayakan terjadinya perdagangan bebas dan  dinilai menjadi ajang kreasi dan perluasan bagi pertumbuhan perdagangan dunia, serta  pembangunan dengan sistem pengetahuan. Hal ini berarti bahwa terjadinya perubahan sosial yang mengubah pola komunikasi, teknologi, produksi dan konsumsi serta peningkatan paham internasionalisme merupakan sebuah nilai budaya. Terjadinya era globalisasi memberi dampak ganda; dampak yang menguntungkan dan dampak yang merugikan. Dampak yang menguntungkan adalah memberi kesempatan kerjasama yang seluas-luasnya kepada negara-negara asing. Tetapi di sisi lain, jika kita tidak mampu bersaing dengan mereka, karena sumber daya manusia (SDM) yang lemah, maka konsekuensinya akan merugikan bangsa kita.
Oleh karena itu, tantangan kita pada masa yang akan datang ialah meningkatkan daya saing dan keunggulan kompetitif di semua sektor, baik sektor riil maupun moneter, dengan mengandalkan pada kemampuan SDM, teknologi, dan manajemen tanpa mengurangi keunggulan komparatif yang telah dimiliki bangsa kita. Terjadinya perdagangan bebas harus dimanfaatkan oleh semua pihak dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek pendidikan, di mana pendidikan diharuskan mampu menghadapi perubahan yang cepat dan sangat besar dalam tentangan pasar bebas, dengan melahirkan manusia-manusia yang berdaya saing tinggi dan tangguh. Sebab diyakini, daya saing yang tinggi inilah agaknya yang akan menentukan tingkat kemajuan, efisiensi dan kualitas bangsa untuk dapat memenangi persaingan era pasar bebas yang ketat tersebut. SDM yang tangguh, menurut Muslimin Nasution (1998), adalah SDM yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi  (IPTEK). Tugas pendidikan, selain mempersiapkan  sumber daya manusia sebagai subjek perdagangan bebas, juga membina penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang nyatanya sangat berperan dalam membantu dunia usaha dalam upaya meningkatkan perekonomian nasional.
Dengan semakin cepatnya arus globalisasi, dunia pendidikan sekarang ini menghadapi berbagai tantangan. Dunia pendidikan dituntut agar dapat mendorong dan mengupayakan peningkatan kemampuan dasar untuk menjadi individu yang unggul dan memiliki daya saing kuat secara cepat. Sementara pandangan masyarakat pada umumnya mengenai pendidikan bersifat konvensional yaitu mengkaitkan penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran yang terjadi hanya berlangsung di dalam kelas, di mana sejumlah murid atau peserta belajar secara bersama-sama memperoleh pelajaran dari seorang guru atau instruktur.
Adanya isu sentral rendahnya mutu atau kualitas dan relevansi pendidikan membuat lembaga pendidikan seperti sekolah dituntut untuk mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang kompeten. Di tambah lagi adanya otonomi daerah juga membawa perubahan-perubahan serta penyesuaian pendidikan demokratis, yang sangat memperhatikan keragaman kebutuhan daerah dan pebelajar itu sendiri. Timbulnya berbagai tuntutan tersebut membawa konsekwensi pada perubahan paradigma dalam belajar mengajar menjadi pembelajaran. Strategi dan pendekatan pembelajaran tidak lagi bertumpu pada guru tetapi berorientasi pada siswa sebagai subyek (student centered). Guru bukan lagi satu-satunya sumber belajar bagi siswa. Tanpa guru, pembelajaran tetap dapat dilaksanakan karena adanya sumber belajar yang lain. Sehubungan hal tersebut para pendidik atau guru di sekolah diharapkan untuk dapat menggunakan sumber belajar secara tepat.

C.    Solusi untuk menghadapi  permasalahan dan tantangan pendidikan
Dari permasalahan-permasalahan yang sudah disebutkan diatas yaitu antara lain :
1.                  Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
2.                  Rendahnya Kualitas Guru
3.                  Rendahnya Kesejahteraan Guru
4.                  Rendahnya Kesejahteraan Guru
5.                  Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
6.                  Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
7.                  Mahalnya Biaya Pendidikan


Pastinya semua itu harus memiliki solusinya, berdasarkan masalah-masalah tersebut. Untuk mengatasi masalah-masalah cabang di atas menurut artikel yang ditulis oleh Franky di Pendidikan di Indonesia  Masalah dan Solusinya (http://mii.fmipa.ugm.ac.id/?p=121)  yang diambil pada tanggal 14 Maret 2011  , secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah cabang yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan gutu, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Yaitu system ekonomi yang juga mementingkan pendidikan.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.

Solusi tantangan pendidikan nasional
Dilihat dari tantangan pendidikan nasional yaitu globalisasi, masuknya pasar bebas di Indonesia membuat daya saing antar negara meningkat. Lalu untuk menghadapi tantangan tersebut kita harus meningkatkan sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi dan tangguh. Sebab diyakini, daya saing yang tinggi inilah agaknya yang akan menentukan tingkat kemajuan, efisiensi dan kualitas bangsa untuk dapat memenangi persaingan era pasar bebas yang ketat tersebut.
SDM yang tangguh, menurut Muslimin Nasution (1998), adalah SDM yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi  (IPTEK). Tugas pendidikan, selain mempersiapkan  sumber daya manusia sebagai subjek perdagangan bebas, juga membina penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang nyatanya sangat berperan dalam membantu dunia usaha dalam upaya meningkatkan perekonomian nasional. (http://www.fai.umj.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=23&Itemid=54, 14-03-2011 ; 15:34)



















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Jadi untuk menghadapi persaingan pendidikan di era globalisasi ini kita perlu menyiapkan sumber daya manusia yang kompetitif dengan memperbaiki sistem pendidikan kita yang terkesan sekulerisme dan materialistik. Pemerintah harusnya juga ikut bertanggungjawab dalam pemerataan pendidikan sehingga pendidikan yang layak dapat dinikmati semua kalangan masyarakat baik yang kaya ataupun miskin.
B.     Saran
Pemerintah harus memperhatikan pendidikan dengan cara mengutamakan pendidikan baik dengan memperbaiki sistemnya atau memberikan anggaran pendidikan yang lebih untuk memperbaiki sarana dan prasarana maupun keperluan yang lain, guna meningkatkan mutu pendidikan di negara kita. Karena dengan pendidikan yang berkualitas maka akan terbentuk juga SDM yang berkualitas guna menghadapi era global yang akan memasuki era pasar bebas.














DAFTAR PUSTAKA




0 comments:

Post a Comment

Tinggalkan komentar anda...